Juni, telah melintas di hari ke lima. Mengajak refleksitas pikiran pada rentang jalan yang terlewati, dimana up 'n down, agaknya cukup mematangkan aksioma hidup ini.
Konon, komparasi tidaklah sehat untuk meninjau prestis. Kemajuan atau kemunduran, mungkin belum sepenuhnya kita akui dengan pertumbuhan diri, melainkan ia dan mereka telah sampai mana, sedangkan saya sudah berada pada titik yang mana. Barangkali, semacam kodrat godaan duniawi yang hanya berlaku menjadi alat uji.
Dahulu, katakanlah 10 tahun yang lalu, manusia menganggap dirinya berhasil, jika dan hanya ketika ia sanggup memenuhi kebutuhan primer, dalam lingkup kecil. Tetapi saat ini, tentu berbeda sama sekali, yang mana hal tersebut di reinforce oleh perluasan jangkauan penglihatan dan pendengaran akses digital. Hingga, yang mungkin sebenarnya telah cukup, sontak merasa kurang.
Syahdan, ruang-ruang kepedulian untuk mengaca; membaca ulang sejarah diri, perlu sesekali di agendakan. Bukan sekadar menjadi trend mental health, akhir-akhir ini an sich. Lebih dari itu, merupakan kebutuhan basic yang mau tidak mau harus dipenuhi. Manusia ya manusia, tidak akan bisa berlaku sebagai kucing, setan, apalagi Tuhan.
Nun, ditengah kegetiran beragam isu ketidaksungguhan hidup yang dijalani para pemangku kebijakan, serta makin banyaknya penyakit sosial gaya baru yang bermunculan, tidak kemudian kita memilih berkaca dan larut pada mereka. Sekalipun itu tidaklah mudah, tetapi semua masih terdapat tiket kemungkinan yang tak akan pernah habis.
Barangkali, pelan-pelan kita dapat menginventarisir problem dan potensi solutif secara berkala. Semoga, bukan malah menambah titik-titik keriuhan dan kebobrokan.
***Cilacap, 5 Juni 2021.
Comments
Post a Comment