September 2021, nyaris selesai. Memberi penanda pada produktivitas saya dalam menulis, mengalami penurunan. Beberapa alasan yang mendasarinya ialah, perubahan aktivitas. Namun, pokok penyangkalannya yakni "kepahaman diri bahwa diri ini belum sepenuhnya paham."
Pada sebagain kasus, "mengetahui bahwa saya tidak tahu" itu bagus. Bahkan, ilmu tertua di dunia (baca: filsafat), mengatakan demikian. Konon Socrates, "puncak pengetahuan adalah tidak tahu". Pemahaman akan hal tersebut, begitu penting. Tetapi, agaknya penting pula untuk selalu mengalami elaborasi dan evaluasi, menyesuaikan berkembangnya diri.
Mengetahui bahwa diri tidak tahu, semoga kita sudah paham akan hal itu. Bahwa sangat berbeda, namun sangat tipis dengan apa itu kealpaan pengetahuan. Mudah-mudahan semua saling mengerti, mana yang konotasi dan mana yang denotasi.
Nun, pada akhirnya 'kuda-kuda' mengerti bahwa diri tidak mengerti ini, pada sisi lainnya berkemungkinan mengalami kekacauan. Hal tersebut, justru malah membuat gagap untuk berbuat. Orang modern menyebutnya, "mental block". Mau ini ragu karena belum merasa paham, mau itu tidak jadi karena belum merasa bisa. Itulah, yang saya alami sekitar rentang 2 bulanan yang lalu, dalam konteks menulis.
Untungnya, beberapa orang terdekat tak bosannya mengingatkan, "yang benar-benar paham itu tidak pernah ada, toh man of the match pertandingan-pertandingan liga terbaik di dunia (baca: Inggris) tidak pernah paham, kalau dirinya benar-benar man of the match".
Jangan-jangan, selama ini kita sering memakan barang haram. Dalam artian, hal-hal yang seharusnya tidak kompatibel dengan diri kita, salah satunya ialah pengetahuan tentang suatu hal, malah kita kunyah seenaknya bahkan sampai keblendingen.
Memang, cocok atau tidaknya benar-benar super subjektif. Disinilah, berfikir menjadi pangkal fundamental untuk mendidik dan merawat diri, demi mengalami objektifikasi.
***Banyumas, 24 September 2021.
Comments
Post a Comment