Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2021

Lewat Halaman Hati (23)

semacam terlempar dari gelanggang, sebelum bertanding  perang kebatinan namun, waktu terus berjalan. siapa yang tau, sampai kapan tak ada cerita, bagi mereka yang berbicara; pada kediaman yang paling menggelisah berpasangan hanya kerumunan, tak ada nilai dari seberang lantang, menyelundup sampai tak berjarak konon, sekadar monoton monolog monolog luka tak sembuh seketika tanpanya, akankah kita pergi kesana nirwana,  tanpa definisi kebebalan, tak abadi keterbukaan, tak selamanya ***Banyumas, 24 April 2021.

Lewat Halaman Hati (22)

pada hari sore pada jalan, tak sempat sepi selebihnya, aku titipkan semuanya aku sandar genapkan apa mau di kata kepulangan  yang bagaimana kebelakang kedepan  sama saja menghadap membelakang ujungnya sama duduk duduk renung merenung lebih ke, melamun lamun sekalipun masih resah sajak ini, pastilah menyejarah pada wajahmu pada wajahmu pada wajahmu ***Banyumas, 24 April 2021.

Selepas Kepergianmu (1)

selepas kepergianmu, semua berontak diam. kau, gubah segalanya dari makna tersembunyi, pada ruang sempit tak berpenghuni selepas kepergianmu, arti terlempar dari kata. pun, bunga memenggal ronta  dari kilas berbekas luka, ke kediaman, masa silam  penuh cita apalah arti,  dari ini. jika bukan kau, pemberi api lalu, apakah kita sempat bersepakat,  untuk melupa  kemudian, bagaimana jika puncak impian, berlalu membiru pejam, pejam, pejam mata, telinga, rasa duduk, diam, hening ***Banyumas, 22 April 2021.

Belum Genap Manusia (11)

Masih ia cari bentuk paling sempurna, dari kekacauan batin yang menganga. Ia, tak berhentinya menempuh, untuk sekadar sanggup bercengkrama dengan wajah menatap teduh. Sesekali, ia berjumpa pada angin yang meratap, menyela langkah lunglainya. Belum genap manusia, masih dikejarnya. Sekali lagi, hanya ia yang mengalami, begitu panjang rentang kepedihan. Meskipun, canda tawa hampir selalu ia jumpa, tetapi itu hanyalah sekadar romansa. Mudah hinggap, seketika lenyap. Tak ubahnya waktu, berlalu menyandarkan senyuman pilu. Mereka, bersembunyi dibalik haru, menyejarah bak samudera Hindia-Walanda. Semua penuh, rahasia-rahasia tak tersentuh. Batin yang sunyi, jiwa yang terlampau senyap, nasib perempuan Sumatera yang ia sasar sebagai pertautan spiritual sastrawi. Hinggap disanubarinya, empati ber-emansipasi. Walau, tak ada ruang untuk sekadar menyelinap, membebas-leburkan batin-batin berlumuran jeritan. Syahdan, tali-temali pancang tindakan, ia susun sebagai titipan. Sekadar, menemani jerih payah...

Aspal Berhati (2)

terlempar, terjerembab. termehek, oleh lalu-lalang nasib biarkan, ia daki lembah disana. toh, pundak batinnya perkasa di langit yang masih sama, padanya. murung memaksa, padat merayap dari Solo, sampai ke sini. masih, belum juga dimana, kemana. oleh siapa, untuk siapa ***Cilacap, 21 April 2021.

Belum Genap Manusia (10)

Masih diambang gamang, sesekali apa yang menjadi titipan mendadak berontak. Tak sekali dua kali, bahkan semacam mengelindan dari ujung penantian ke lembah pemberhentian. Syahdan, keheningan yang diam dan berjalan, memaku pangku tangan menggali demi menemui, selat terjal bernama jiwa tenang. Meskipun, dinamika tak terhindari, dari denyut nadi kehendak melampaui. Hingga, rasa cemas mengalun mesra, membersamai keimanan arus bawah. Dari gelap, menuju gelap. Dari terang, ke terang kembali. Apapun saja, memang menyita korban dan pengorbanan. Sekalipun, kehilangan mesti memulai wedaran ejawantah yang bernyawa kebaruan. Belum genap manusia, lagi-lagi merupakan asa menempuh rentang jalan. Misteri mina dzulumati ila nur, seyogyanya tidak lepas dari yang adekuat disana-sini. Nun, kehendak bebas, batasan ruang gerak, kelapangan waktu, dan semua probabilitas nasib, mengabari jiwa-jiwa yang haus, akan kepasrahan ambisi. ***Banyumas, 19 April 2021.

Belum Genap Manusia (9)

Tidak ada yang kentara dari mimik wajahnya, ketakutan atau keberanian, sekalipun wajah dalam sudut pandang tertentu merupakan jembatan untuk sampai pada sisi lain kedalaman jiwa. Tatkala yang ia pengangi adalah peluang dan potensi, beserta probabilitas yang mengelilinginya, ia sama sekali tak bergeming sedikitpun dari upaya "duduk-duduk", menerungi rentang jalan, ber-refleksi ditengah nasib terus berjalan. Apapun saja, adalah pengalaman menghidupi untuk hidup, hidup untuk menghidupi. Dari kerumunan ia diam, dari kesunyian ia berteriak-teriak. Sendiri dalam kebersamaan, bersama dalam kesendirian. Syahdan, sekitaran hanyalah cipratan dari kuasa yang Maha. Ia pun sama, sekadar karunia yang tumbuh dari "mungkin" ketidaktahuan pengetahuan. Terlempar dalam senyap, mewedar dirinya sendiri dalam riuh-rendah peradaban. Belum genap manusia, hanyalah permukaan ditengah kedalaman. Pembuka dari isi-isi yang memaknai makna, penutup dari pembuka-pembuka selanjutnya. Bukankah, gena...

Aspal Berhati (1)

mengamati, lebih ke menanti. seutas tali, milik pelebar nyali ada apa disana, tak kunjung mengada. ia, diam memungkas kelihatan, sepi menyelam batinnya. pun, mengejek nasibnya kesana, tak ada. kesini, tak jua ditemui bagaimana, nanti. esok hari, milik buah hati berpasangan, melampaui adikodrati. mengalami, lebih sekadar menjalani ***Cilacap, 8 April 2021.

Belum Genap Manusia (8)

Selebihnya, memang tak lepas dari sekurangnya. Ketika manusia mengadakan dirinya, tidak lantas kemudian mereka ada dengan sendirinya. Hal ini, tidak sekadar menegaskan atas apa yang sama-sama kita sebut sebagai kausa prima. Sebenarnya, terlalu banyak hal yang sepertinya memungkinkan untuk diganggu gugat. Terlebih, atas segala hal yang menyangkut eksistensi kemungkinan. Akan kemana roda berjalan, disitulah letak perputaran. Melingkar naik diturun, pun turun dinaik. Waktu memang konstan, tetapi kesunyian rasa waktulah yang relatif.  Syahdan, ketika manusia beranjak dari satu kondisi ke kondisi berikutnya, cepat atau lambat, dengan persiapan atau asal-asalan, tetap saja ia akan sampai pada adikodrati kausal, dengan catatan terkendali dan penuh kesiapan, atau serampangan dan cenderung amburadul. Konon, keterkaitan relasi pergumulan sosial akan sangat menumbuhkan energi. Dilain pihak, oleh sebab keterkaitan relasilah manusia terpaksa sakit parah, luaran dan kedalamannya. Hingga, tanpa k...