Juli, memasuki langkah keduanya. Kita, dan saya terutama, telah melewati dan mengalami sekaligus dari Juni, didalam Juni. Adapun perihal baik dan buruk, mesti bersanding dialektis. Sama, dalam derajat dikotomis, namun berbeda secara kemauan memberi perspektif.
Betapapun pedihnya realitas paceklik yang tengah sebagian besar manusia mengalami, tetap saja terkandung bagian-bagian manis. Walaupun, yang manis itu adalah menikmati resapan-resapan dari kepahitan. Memilih berdamai, sekalipun perang tak pernah usai.
Konon, kepedihan hanyalah bias kognitif atas peristiwa yang belum kita kuasai. Ketika sakit dipikirkan sebagai sakit, maka sakitlah. Namun, bias tersebut tidak selalu tepat. Misalnya, jika itu terjadi pada tuna makna, mereka yang tak punya kesadaran arti; meaningless.
Kembali lagi, kita terpaksa mengingat ulang atas makna-makna yang telah terlewati. Dari naik-turunnya hidup, hingga stagnasi yang kerap mensabotase nurani; hopeless.
Syahdan, setengah jalan ditahun ini, pasti telah semacam memupus harapan redanya pandemi, dengan meningginya angka-angka terpapar. Terlebih, mereka yang dibawah angka sejahtera, dengan penghidupan yang unpredictable.
Dari sana, semakin jelas terpampang, bahwa sehebat apapun kebudayaan, tidaklah mampu memastikan hari esok. He said; menyerahlah untuk menang.
***Cilacap, 2 Juli 2021.
Comments
Post a Comment