Jika hanya karena kesepian engkau kemudian mencari keramaian, maka sudah bisa dipastikan; apabila telah hinggap ramai di batinmu, engkau mencari yang sepi. Tak berkesudahan, siklus rutin tanpa arti; kecuali sekadar loncat kesana-sini.
Juli yang menatap di akhir ini, betapa sudah kita terbebas dari kungkungan informasi; melewati batas-batas pendahulunya, acapkali justru kelewat batas sewajarnya.
Pandemi, menjadi isu sentral masyarakat kita; trending topic di jagat jiwa manusia Indonesia. Tak lebih memprihatinkan dari keragu-raguan bertindak, terlampau pelik untuk sekadar mengudar rasa; indecisivesness garis lugu.
Pasti, tidaklah berlebihan jika lewat pageblug fenomenologis ini, kita semacam terjerembab pada kedengkian sosiologis; terutama pada mereka yang tak tahu rumongso, nir-simpati, apalagi level proporsi empati.
Survive hanya pada pangan, tidaklah mampu menutup kebencian atas pengkhianatan terhadap filosofi "sama rasa". Rasa itu pusat, biang keladi dari pikiran; percikan laku aktifisme perbuatan. Kalau ia terganggu, hancur leburlah setelahnya.
Syahdan, sebegini rupa ketidakpastian adalah sama berbahayanya dari segala macam penyakit; tidak hanya menurunkan imunitas, bahkan lebih sekadar zat pemicu tumbuh-kembangnya kebobrokan.
Tetapi, ya sudahlah. Toh, kepedihan apapun saja, sekadar tali ketat pergantian, dari kepalsuan kesenangan; dari mulur-mungkreknya khasanah kejiwaan.
***Cilacap, 17 Juli 2021.
Comments
Post a Comment