Skip to main content

Mengalami Diri (13)

Pada pertengahan tahun 2021, tapal batas masa telah memasuki  pendulum menuju akhir. Manusia masih manusia, tumbuhan dan hewan pun demikian. Menjalani peran, sekaligus bergantian peran.


Perubahan memang niscaya, sekalipun kita sama-sama kerap membencinya. Sebab, tak ada yang rela meninggalkan kemapanan, terlebih jika rentang perjalanannya justru merosot tak menuai kata membaik. Stagnasi dihindari, apalagi degradasi.


Bagi mereka yang menganggap "dunia" tak "penting-penting amat", pasti lebih berbiasa melakoni kebobrokan. Berbeda dengan mereka, yang meletakannya pada titik "segalanya".


Lagi-lagi, kita diingatkan akan "permainan makna". Dalam artian, apapun saja tak mungkin berdiri dalam ruang kosong. Senang itu makna, sedih pun demikian.


Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan hampa; tak merasakan senang ataupun sedih?


Secara kategoris, hampa tidaklah termasuk dalam makna, sekalipun bisa diklaim juga, bahwa itu masuk pula dalam makna.

 

Mau percaya yang mana, mau yakin yang mana, terserah saja, karena bukan itu yang menjadi poinnnya.


Keadaan alpa, hampa atau sekaliber meaningless itu, semacam biang keladi dari perilaku boros, membangkang, etc., pokoknya ihwal destruktif, hingga pikiran dan tindakan suicide.


Begitu mengerikannya keadaan alpa, sampai per-2021 hari ini, buku-buku Victor Frankl masih menjadi salah satu best seller internasional.


Syahdan, ditengah kepedihan ketidakpastian atas pandemi di negeri ini, agaknya kelihaian bermain makna menjadi kuda-kuda paling dekat dan mungkin. Karena keadaan krisis lah, merupakan jembatan penghubung orang-orang di Jepang melakoni harakiri.


Diri sini, kita bisa berkaca kembali atas pesan untuk saling berbagi. Tak melulu soal harta, sekadar bertegur sapa; menjalin watak "bersama", adalah satu dari sekian kebutuhan dasar yang menuntut pemenuhan.


***Banyumas, 4 Agustus 2021.




Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-