Pada pertengahan tahun 2021, tapal batas masa telah memasuki pendulum menuju akhir. Manusia masih manusia, tumbuhan dan hewan pun demikian. Menjalani peran, sekaligus bergantian peran.
Perubahan memang niscaya, sekalipun kita sama-sama kerap membencinya. Sebab, tak ada yang rela meninggalkan kemapanan, terlebih jika rentang perjalanannya justru merosot tak menuai kata membaik. Stagnasi dihindari, apalagi degradasi.
Bagi mereka yang menganggap "dunia" tak "penting-penting amat", pasti lebih berbiasa melakoni kebobrokan. Berbeda dengan mereka, yang meletakannya pada titik "segalanya".
Lagi-lagi, kita diingatkan akan "permainan makna". Dalam artian, apapun saja tak mungkin berdiri dalam ruang kosong. Senang itu makna, sedih pun demikian.
Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan hampa; tak merasakan senang ataupun sedih?
Secara kategoris, hampa tidaklah termasuk dalam makna, sekalipun bisa diklaim juga, bahwa itu masuk pula dalam makna.
Mau percaya yang mana, mau yakin yang mana, terserah saja, karena bukan itu yang menjadi poinnnya.
Keadaan alpa, hampa atau sekaliber meaningless itu, semacam biang keladi dari perilaku boros, membangkang, etc., pokoknya ihwal destruktif, hingga pikiran dan tindakan suicide.
Begitu mengerikannya keadaan alpa, sampai per-2021 hari ini, buku-buku Victor Frankl masih menjadi salah satu best seller internasional.
Syahdan, ditengah kepedihan ketidakpastian atas pandemi di negeri ini, agaknya kelihaian bermain makna menjadi kuda-kuda paling dekat dan mungkin. Karena keadaan krisis lah, merupakan jembatan penghubung orang-orang di Jepang melakoni harakiri.
Diri sini, kita bisa berkaca kembali atas pesan untuk saling berbagi. Tak melulu soal harta, sekadar bertegur sapa; menjalin watak "bersama", adalah satu dari sekian kebutuhan dasar yang menuntut pemenuhan.
***Banyumas, 4 Agustus 2021.
Comments
Post a Comment