Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2021

(2) Lewat Halaman Hati

suatu saat, kita akan bertemu di sudut waktu. menyayanginya, membiarkannya tumbuh semestinya suatu saat, ada hari yang lebam kita lewati. tetapi, tak hirau aku dan kau suatu saat, pada lembaran-lembaran hitam. perlahan, sama-sama kita rayakan

(15) Lagi ngapain;

ada,  yang kita biarkan, hanya dalam ingatan ada pun,  yang kita simpan,  dalam dalam belukar, beberapa lainnya tak sanggup,  sekadar di gambarkan sungguh,  sekalipun kau bertanya tentangku, aku tak berdaya berkata selengkapnya termasuk kau apapun saja, aku ingin berdiri disebelahmu,b bukan didepan apalagi dibelakang bersama, menerima,  sekalipun tak menutup mungkin untuk selalu seirama senantiasa, pungkasmu

tribute to mamake

sampai kering air mata, sampai hati, memejamkan semuanya aku tak benar-benar mengerti ini, perihal bukti, berbakti mencintaimu  apapun yang kau mau, mesti sekuatku, jiwaku ragaku apapun yang kau kehendaki, menjadi titik tuju,  hadirku saat ini disini pasti, semuanya tak sempurna. arah, semestinya itu sebabnya, aku bersujud maaf padamu. ikhlasmu, adalah dharma mengucap apa adanya, memohon makna. munajat, ketulusan doa berjanji atas nama setia, memelukmu. selamanya, selama-lamanya syahdan, sampai bertemu, di pangkuan dekapan-Nya

(14) Lagi ngapain;

beberapa hal, mesti terabaikan bukan keinginan murni, sebenarnya. hanya, istilah halus sementara apakah kita akan sama-sama peduli, ucapan mereka. soal, hati aku, memilih sibuk. merindukanmu, seadanya

(13) Lagi ngapain;

hentikanlah, dari mencari. titik henti, rumah itu sekalipun tak kusudahi mengejamu, wujudmu adalah bentuk pelarianku dunia tak kenal lelah. manusia, yang lemah terseok terjungkal kita menjadi. jangan, hanya mengada harapku  berhenti di koma. lebih, tepatnya sayang

(12) Lagi ngapain;

peradaban ini milik kita, sekalipun kepedihan tak hentinya tertawa cinta itu kejam, kekasih. engkau, mengerti bejibun kangen,  teramat sering membunuh tanpa kenal waktu kau tau, aku lampau sering gagal  soal ini kau pun tau, tak seorang pun  yang bercita-cita untuk gagal cinta itu,  rajam.  kekasih nun, tekadku. kelak, menghukumnya, dipelukanmu

(11) Lagi ngapain;

engkau tau,  aku tak memiliki  semuanya sedangkan, kecerobohanku mungkin akan menyulitkan jalan ini kita dipertemukan, mungkin  akan terpisah tetapi ketahuilah, aku tak pernah membayangkan perpisahan nasib kita ditulis di bintang, aku tak mengerti kau pun syahdan, malam hari menjadikannya lebih berarti tentu, tak ada yang layak untuk ku lewatkan tanpamu

Ufuk Jakarta

 singkaplah. kata-kata, dari lebam ufuk Jakarta membeku biru. lebam, bisu menelantar papar keluarkanlah rahasianya, yang kerap terlilit, khawatirnya do'a kau tak harus memilih, jika nanti tak tersisa  sia

mandeg

aku ingin bersembunyi, mungkin sementara waktu disana, jiwa terasa menemukan sesuatu yang tak didapat dari tatapan mata sekalipun dunia barangkali akan menggilasku, aku tak memperdulikannya biarlah, semua mengalir seperti sungai dihadapan kita kebutuhanku tidaklah banyak, selain memberitahu bahwa raga ini bernyanyi untukmu lantunan nada tanpa koma, selalu menjadi tawaran yang menghidupkanku saat tak ada lagi yang mesti ku jelaskan semua bertumbuh kemudian hancur seluruhnya mati  tanpa sempat hidup

Value

Berbicara tentang nilai, setiap orang memiliki nilai yang sangat amat beragam. Nilai orang (individu) tercipta oleh proses kehidupan yang telah di alami. Setelah orang memiliki nilai, maka orang tersebut punya penilaian. Jadi, antara "nilai" dan "penilaian" itu merupakan dua sisi yang integral. Ketika orang sudah mempunyai nilai dan penilaian, maka secara alamiah dia akan memiliki objek untuk di nilai. Jika orang A menilai orang B itu baik, maka sebenarnya orang A ini, menilainya berdasar pada nilai yang di punyainya dan berdasar pada objek yang di nilainya, yaitu orang B. Kembali ke argumen saya di awal, bahwa orang memiliki sebuah nilai yang sangat amat beragam.  Jadi apabila ada orang yang memberikan penilaian kepadamu, entah masuk dalam kategori baik atau buruk, hal yang pertama kali harus dilakukan adalah bukan menerima secara mentah penilaian tersebut, melainkan kita harus terlebih dulu memahami orang tersebut, tentang kepemilikan "nilai" yang sepert...

Pancangan Psikedelik

Memandang dunia dari kejauhan, sepertinya teramat sukar untuk dijalani. Terlebih, kedekatan jiwa dengan garis kenyataan, semakin fana untuk di gubah. Pelajaran memang akan selalu ada, tetapi tidaklah semudah saat mendengarkannya. Bernasib tidak di inginkan, adalah pekerjaan yang paling menguras tenaga. Kau dan mereka, pasti sempat merasakannya. Alih-alih memulai sebuah harmoni, justru mereka-mereka tak kenal akan empati. Sampai pada sebuah konsepsi, katakanlah menerima kodrat alam, untuk kemudian menjalaninya. Adalah bagian dari babag hidup yang menggelikan, bias, dan paradoks. Mereka menyuruhmu memberi, sedang bekalmu saja tak cukup memenuhi bentangan realitas. Syahdan, tenang dalam keriuhan,  agaknya mampu sedikit menawar kamuflase diri, sekalipun hanya sekejap. Tenang yang seperti apa? Riuh yang macam mana? Untunglah, beberapa episode jalan, memancangkan kepedulian. Misalnya, melatih kesadaran demi menafsirkan ulang keadaan yang rumit dan kompleks, menjadi kesederhanaan, walaupu...

(9) Lagi ngapain;

alunan heavy metal, mengayun padat lekat psychedelic. menjadi pijakan, akan kala yang beralih cadas mereka butuh bukti aku tidak mengejar ekor sendiri nasib kita kejam batin mereka diam memeluk ringkih bercak hitam

(8) Lagi ngapain;

aku butuh menulis sastra tanpa titik tanpa koma aku butuh mensenyawa jiwamu menabur benih bersama merawatnya memetik seperlunya aku butuh kau ada di seberang sana menjadi labuh kala gulita tempatku memejamkan lelah aku butuh aku lah temanya sejak dari lukamu sampai ke liang hampaku hingga, semuanya sanggup mengendap riuh, senyap lenyap

Repihan Post-Truth Era

Ada banyak hal, yang kemudian perlu dicecar kembali, untuk sampai pada pengandaian yang lebih presisi. Upaya semacam ini, akan dengan sendirinya, mempertegas banyak hal. Ditengah kuadran bidang yang masih kosong, ada puncak capai yang telah disodor. Mereka pasti bertanya, apa-bagaimana-kapan, siapa yang terlibat. Sebenarnya, yang dibutuhkan dari perjalanan adalah pegangan. Indikatornya berjiwa nyaman, sekalipun sangat mungkin untuk menjebak; bias kognitif. Nietzsche telah bersuara; manusia memegang hal yang ia anggap sebagai nyaman, sekalipun itu belum pasti benarnya. Demikian, salah satu akar psikologis post-truth. Syahdan, disinilah urgensitas mempertanyakan ulang atas peran; menyangsikan yang terpapar dimeja, mengunyahnya tanpa terburu untuk menelannya. Tidak mudah soal ini, sesekali memberi fokus justru berjumpa dengan distraksi. Maka, tidak ada pilihan lain dari memotong kegamangan selain dengan kembali menemukan, hal-hal yang menjadi garis-garis kepedulian.  Biasanya, orang-o...

(6) Lagi ngapain;

jarak kita dekat,  beberapa langkah. tetapi, kita pilih ciptakan ruang apa gerangan mau ditunggu, dik. aku, telah penuh kini bagaimana,  dengan kau. harapku, tentu berangsur naik cinta...ditepisnya rindu malah menuai sesak. kau nyaman, sedang aku tenggelam

(4) Lagi ngapain;

aku amat paham soal nada, tanpa pernah sanggup. Sekadar, memainkannya hingga bisikan entah dari mana, memudar laranya. oh,  sia-sia pelan-pelan, keriuhan itu menjadi-jadi. meng-gubahnya,  gila dari mana ?  ucapmu tak tau lah , jawabku aku butuh memperdalammu , ujarku baiklah , sahutmu

Purpose

mencari, menemukan,  kemudian menjalani kepahaman menjadi sakral, benarnya majemuk mengitar-itar kegalauan membuncah, tidak keliru mengenai ini menata ulang, menimbang kembali rentang jalan bertanya ini dan itu, mengawali yang akan terkayuh, setapak demi tapak di cecar logika, terkapar oleh rasa, pastinya hingga, percik-percik ayat memotong gundah untuk peduli yang mana, terpanggil dimana semuanya tak seketika, perlahan menuai duri-duri rintang pelan-pelan menjadikannya pijakan mengudar jiwa, demi apa untuk siapa berlari, tetapi tidak merasa di kejar-kejar syahdan, menjalani jalan, bukan sekadar menggapai 

(2) Lagi ngapain;

yang dulu mungkin terulang, kalau kau mau aku sedia berperan atasnya, tentunya bukan kemudian nestapa aku enyah pun, bukan kemudian bahagia aku telan dalam-dalam ini, soal nanti ketika abjad paling resah,  coba ku gubah sementara, aku tengah bernyanyi diantara nasib sembari, diam-diam mengayun munajat

(1) Lagi ngapain;

kelopak bunga disana tak senantiasa menyala kumbang-kumbang menepi hadir sekadar mengais masa nanti terkubur kemudian tergali ditemukannya lain sisi mengambil ala kadarnya bukan berarti yang lain tak berharga