Memandang dunia dari kejauhan, sepertinya teramat sukar untuk dijalani. Terlebih, kedekatan jiwa dengan garis kenyataan, semakin fana untuk di gubah. Pelajaran memang akan selalu ada, tetapi tidaklah semudah saat mendengarkannya.
Bernasib tidak di inginkan, adalah pekerjaan yang paling menguras tenaga. Kau dan mereka, pasti sempat merasakannya. Alih-alih memulai sebuah harmoni, justru mereka-mereka tak kenal akan empati.
Sampai pada sebuah konsepsi, katakanlah menerima kodrat alam, untuk kemudian menjalaninya. Adalah bagian dari babag hidup yang menggelikan, bias, dan paradoks. Mereka menyuruhmu memberi, sedang bekalmu saja tak cukup memenuhi bentangan realitas.
Syahdan, tenang dalam keriuhan, agaknya mampu sedikit menawar kamuflase diri, sekalipun hanya sekejap. Tenang yang seperti apa? Riuh yang macam mana?
Untunglah, beberapa episode jalan, memancangkan kepedulian. Misalnya, melatih kesadaran demi menafsirkan ulang keadaan yang rumit dan kompleks, menjadi kesederhanaan, walaupun masih abu-abu sebagai ketegasan.
Anak-anak masih bermain di pelataran, bayam di belakang halaman tetap menumbuh, dan mereka memang belum mengerti sepenuhnya, atas bagaimana menjemput perpisahan atas dunia.
***Banyumas, 18 Januari 2021.
Comments
Post a Comment