Ada banyak hal, yang kemudian perlu dicecar kembali, untuk sampai pada pengandaian yang lebih presisi. Upaya semacam ini, akan dengan sendirinya, mempertegas banyak hal.
Ditengah kuadran bidang yang masih kosong, ada puncak capai yang telah disodor. Mereka pasti bertanya, apa-bagaimana-kapan, siapa yang terlibat.
Sebenarnya, yang dibutuhkan dari perjalanan adalah pegangan. Indikatornya berjiwa nyaman, sekalipun sangat mungkin untuk menjebak; bias kognitif.
Nietzsche telah bersuara; manusia memegang hal yang ia anggap sebagai nyaman, sekalipun itu belum pasti benarnya. Demikian, salah satu akar psikologis post-truth.
Syahdan, disinilah urgensitas mempertanyakan ulang atas peran; menyangsikan yang terpapar dimeja, mengunyahnya tanpa terburu untuk menelannya.
Tidak mudah soal ini, sesekali memberi fokus justru berjumpa dengan distraksi. Maka, tidak ada pilihan lain dari memotong kegamangan selain dengan kembali menemukan, hal-hal yang menjadi garis-garis kepedulian.
Biasanya, orang-orang menyebutnya dengan, panggilan jiwa. Walaupun, paham postmo tidak menempatkan objektifitas sebagai barang paten. Semua, mengalir beradaptasi dengan kompleksitas.
Pada akhirnya, mengatur apa-apa yang mesti di ingat, dan mengatur apa-apa yang mesti dilupakan, bukan persoalan yang ringan.
Sekalipun, kita sama-sama punya orientasi, agar titik flow, berarus di ruang yang presisi, tetap saja arus panas imajiner, dan arus dingin logis, kerap tak berjalan komplementer; seimbang butuh jam terbang.
***Purwokerto, 11 Januari 2021.
Comments
Post a Comment