Pada era krisis yang tengah manusia alami akhir-akhir ini, terdapat keterkejutan sikap sekaligus perilaku, yang sejatinya sama sekali baru. Sikap sebagai modalitas berperilaku pada manusia, bersifat reaktif terhadap perubahan “cuaca” zaman.
Budaya digital sebagai fase kebudayaan dunia, menjadi semacam “penyelamat” atas pembatasan interaksi tatap wajah. Hampir semuanya, koini berbondong menuju yang digital itu, sekalipun sense-nya tentu tidaklah sepaket seirama dengan berhadap-hadapan langsung.
Fenomena krisis yang tengah manusia “terpaksa” hadapi ini, sesungguhnya menjadi barang “biasa” bagi gerak sejarah peradaban manusia, sekalipun ekor dari perubahan cuaca ekstrim ini, tidaklah biasa. Kita bisa mencandranya disekitaran, betapa perubahan besar benar-benar terjadi.
Akar rumput
kelimpungan beradaptasi, pun para elite. Yang paling mencolok kepermukaan,
tentu aspek pemenuhan kebutuhan dasar keseharian, beserta semua hal yang
membuntutinya.
Upaya strategis dari pensikapan atas krisis ini, banyak ragam berkeliaran. Dari misalnya berkebun di akar rumput, sampai bagi-bagi bantuan di elite, dan berbagai hal lainnya.
Polemik pasti tak terhindari,
begitu juga dengan pertumbuhannya. Manusia bertumbuh oleh karena polemik yang
dialami, sekalipun bukan itu satu-satunya sebab.
Sebagai makhluk yang terus “belajar”, baik yang disadari maupun belum disadari, manusia mendayagunakan kesempatan untuk mengolah keadaan. Pengolahan atas keadaan tersebut, bermula dari melihat, mendengar, merasa, berfikir, untuk sampai pada bertindak sesuatu.
Tindakan berposisi
sebagai sebab, sedang tindakan berikutnya menjadi akibat. Prinsip kausalitas sebab-akibat
ini, semacam menjadi paten untuk kalangan tertentu.
Syahdan, menariknya sebab akibat bukanlah hal yang primer dari gerak peradaban manusia. Manusia sering mengalaminya, sadar tidak sadar.
Hampir selalu ada jurang pemisah dari sebab ke akibat, untuk tidak mengatakan pasti selalu. Jurang pemisah itulah mesin bagian vital penggerak peradaban menuju yang transenden.
Perjalanan pada alam jiwa manusia kepada yang transenden tersebut, biasanya lebih sering dimiliki oleh “korban” atas keadaan krisis, untuk tidak kemudian mengatakan selalu.
Maka tidak heran, jika perilaku
“korban” terjadang jauh lebih filosofis dari pada pengajar filsafat, bisa lebih
saintifik dari pada saintis, dapat lebih sufi dari pengajar tasawuf.
***Banyumas, 10 September 2020.
Comments
Post a Comment