Skip to main content

Sebelum Yang Rigoris

 

Seiring dengan “tidak” membaiknya kondisi pandemic per-2020 akhir-akhir ini, membuat pelbagai lapisan kebudayaan berekspresi sebegitu ragamnya. 


Lingkup komunal yang bervariasi pada penekanan berhadap-hadapan eksistensial secara langsung, kini ber-sentra haluan menjadi serba virtual. Tentu, implikasi dari hal tersebut, memuat sisi-sisi kenormalan yang kongkret, tercerabut.

 

Keluasan dan keleluasaan pada interaksi “tak langsung”, pada satu sisi bersifat melenyapkan muatan komplementer behavior. Mimik dan intonasi, sebagai pilar dari konteks, semacam kehilangan genuine-nya. 


Semua jenis interaksi, (pada titik tertentu sebagian), menjadi serba menyempit. Hal itu, menjadi penanda berkelanjutan, bagi perkembangan bias kognisi.

 

Saat ini manusia, (sekalipun tidaklah semuanya), tengah menjalani dan mengalami kegagapan gerak. Alam yang berubah, dalam kesejarahannya, tidaklah melulu sanggup diadaptasi oleh para penghuninya. 


Sekalipun, kodrat adaptable merupakan kekhasan eksistensial makhluk hidup, entah efektif tidak efektif. Bisa dengan melindas sengaja, ataupun tak sengaja pihak lainnya.

 

Syahdan, mengharap agar semua (minimal yang mikro kosmos) berlaku sesuai kehendak wudel, sama saja seperti “berteduh dibawah terik matahari”. Hal yang tidaklah mampu dijangkau, oleh siapapun dan sampai kapanpun.

 

Alih-alih meringankan beban-beban bencana “non alam” ini, dengan kolaborasi, katakanlah ketahanan pangan, pada kenyatannya, kita malah kerap disuguhi dengan tontonan absurd pemegang otoritas. Konklusi sementara: “yang dibawah berbenah, yang diatas merusak”.

 

Ditengah teramat beratnya menyaksikan sengkarut manajerial laju kebudayaan dalam situasi pandemic ini, terutama pada elite yang berlaku “genit”, beberapa lapisan masyarakat masih ada yang sanggup bertahan, dengan pertimbangan yang argumentatif, untuk tidak mengarusutama pada keperluan "cangkul" semata.

 

***Banyumas, 19 September 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-