Saat manusia tengah menjalin interaksi dengan manusia lainnya, entah dalam perkara makro ataupun mikro, mesti selalu ada ketidaklengkapan penangkapan maksud dari apa yang di interaksikannya. Kita sama-sama pernah mengalami, bahwa ketidaklengkapan benar terjadi, ketika terdapat pengulangan kalimat, ataupun bahasa tubuh.
Interaksi manusia dengan manusia lainnya, memang ber-relasi erat dengan pengalaman dari pelaku interaksi itu sendiri. keber-relasian tersebut, memungkinkan terjadinya kelengkapan konten interkasi, yang kemudian mampu menghadirkan kemungkinan kecil dari disharmoni.
Konsep sederhana dari narasi interaksi diatas, dapat menjadi modalitas manusia dalam mengarungi ruang interkasi, apapun jenisnya. Kelengkapan interkasi, sebagai representasi kepahaman, merupakan harapan bagi segenap individu dan society.
Salah satu hal yang kerap mencerabut konten interaksi dengan lengkapnya kepahaman, adalah kegugupan nalar dalam menaruh simpulan. Hal tersebut, berangkat dari asumsi egoistik dari sebelah ataupun semua pihak.
Syahdan, implikasi dari ketidaklengkapan kepahaman interkasi antar individu maupun lintas society, adalah keselarasannya pada disharmoni. Yang selanjutnya, berefek domino pada lunturnya kohesi emosional dan sosial.
Di era sebelum pandemic, gejala ketidaklengkapan kepahaman, ada yang bersifat potensial, maupun aktual. Sedang pada masa pandemic seperti sekarang ini, gejala seperti yang tersebut diatas memiliki potensi dan aktualisasi yang lebih besar.
Maka, jalan "tengah" preventif dari itu semua, ialah memberi jeda khusus pada tiap-tiap pra interkasi, sebelum yang pasca, tidak mampu ditarik kembali. Sebab, kontrol atas asumsi egoistik, memerlukan kelembutan sikap, yang itu belumlah dimiliki oleh semua individu dan society.
Barangkali.
***Banyumas, 30 September 2020.
Comments
Post a Comment