Nama Arthur Schopenhauer; mungkin dikalangan ketimuran, masih asing terdengar, ketimbang nama-nama seperti Plato, Aristoteles maupun Al-Ghozali, dan seterusnya.
Namun, cukup menarik jika kita mencoba melihat bagaimana dia mengeluarkan gagasannya berupa "metafisika cinta". Schopenhauer, memberi eksplain berkisar antara tunduknya (subordinasi) suami pada istri, orang tua pada anak, individu pada spesies.
Ia pun menambahi, bahwa gadis muda yg "kurang cantik" masih selalu mempunyai daya tarik seksual, bila dibandingkan dengan "perempuan tua yg masih cantik".
Dalam banyak kasus, jatuh cinta bukanlah masalah hubungan cinta timbal-balik antara dua manusia. Masalah pokoknya adalah, terletak pada adanya keinginan untuk memiliki, apa yg tidak mereka punyai.
Tesisnya ini, mungkin saja banyak kita temui pada era dewasa ini, tetapi hal demikian sudah Schopenhauer tulisankan jauh sebelum abad milenium bergulir. Sekalipun, dalam prahara ketertarikan lawan jenis, dalam scope lapangannya, terbatas pada entitas selera yang sungguh dinamis. Misalnya, adagium atas "perawan memang mempesona, sedang janda lebih menggoda".
Syahdan, segala macam perdebatan mengenai selera, tidaklah bernilai primer. Menjadikannya sebagai bagian kerenggangan sosial, adalah logical fallacy. Walaupun acapkali, biang keladi lunturnya kohesi berbangsa dan bernegara, kerap terjadi oleh karena distingsi atas nama selera.
***Banyumas, 21 September 2020.
Comments
Post a Comment