Semua tradisi keilmuan dalam wilayah akademis maupun non akademis, memiliki sisi-sisi yang berjenjang. Hematnya, dimulai dari segala jenis "apa", beranjak ke beragam tema "mengapa", sampai pada derajat macam-macam "bagaimana".
Titik puncak kepuasan keilmuan seseorang, secara mayor berada dalam posisi kebergunaannya. Posisi kebergunaan tersebut, bisa yang berpihak pada "enak" mutual, atau sekadar enak "individual".
Akar perkembangan dan pertumbuhan keilmuan dalam kesejarahannya, arus besarnya berangkat dari keresahan psikis si pelaku (intrinsik). Tidak jarang pula, yang bermula dari keterpaksaan keadaan sosialnya (ekstrinsik).
Dalam menapaki jenjang-jenjang keilmuan, tidak jarang si pelaku menemui hambatan dan kendala. Misalnya hambatan, kepiawaian mentransformasikan bahasa dari isi kepala, ke tulisan diatas kertas, ataupun serangan distraksi alam berpikir, etc.
Sebagaimanapun canggihnya teknologi yang dimiliki manusia, ternyata tetap saja masih berlaku pepatah yang menyebutkan bahwa "memulai itu lebih sulit, dari pada melanjutkan".
Syahdan, sadar tidak sadar, kemajuan dunia keilmuan peradaban manusia, mesti beriring sejalan dengan pelbagai distorsinya. Kadangpula, terjadi kondisi kejar-mengejar, sekaligus tarik-menarik dominasi.
Dalam kondisi semacam itu, mau tidak mau, menanamkan pada alam bawah sadar, bahwa "semua manusia adalah ilmuwan", barangkali bisa menjadi alternatif, tentu saja dengan tetap berpegang pada etika dasar. Sebab terlampau sering kita temui, ilmuwan-ilmuwan yang mengaku kredibel, padahal "pelacur" di remang-remang kenyataan.
***Banyumas, 22 September 2020.
Comments
Post a Comment