Kekecewaan publik sedang meradang, sekalipun belum menjangkau seluruh elemen. Jika diakumulasikan kedalam nalar awam, terdapat titik besar; adalah kekhawatiran efek domino terhadap kebebasan kompetisi pasar.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kompetisi akan selalu dimenangkan oleh mereka yang telah bersiap dari segala sisi. Maka otomatis, mereka yang menyatakan belum bersiap, akan mengajukan protes.
Semua usaha memiliki peluang, kecil maupun besar. Propabilitas aksi massa, dalam beberapa momentum memang efektif, walaupun notabene merupakan jalan terakhir perubahan keputusan. Mereka memyebutnya sebagai, mimbar jalanan.
Dinamika kesejarahan bangsa ini, akan terus berlanjut. Pioner perubahan pun, selalu mungkin berganti wajah. Balutan kepentingan berbagai pihak, akan berinteraksi, untuk tidak mengatakan berkonflik.
Syahdan, semua memerlukan adaptasi interest. Butuh perlakuan "tangan dingin" elite, untuk berdialog dengan jajaran oligarki. Namun, jika tujuan bangsa ini adalah pembusukan moral, maka biarkan saja semua direngkuh oleh kepuasan subjektif, perwakilan laknat.
Jalan terang ketahanan pangan, memang terdapat di Desa. Bukan suatu hal yang mudah bagi kaum miskin kota, untuk memulai roda baru aktivismenya. Terlebih, manusia Indonesia bukanlah pemilik gen nomaden, apalagi watak imperialis. Walaupun, habituasi bisa saja menjadi alternatif, untuk tidak mengatakan memaksa kebiasaan.
***Purwokerto, 7 Oktober 2020.
Comments
Post a Comment