Kelengkapan atas penjelasan pada suatu hal, mesti menyisakan ruang hampa makna. Sekalipun ada beberapa hal yang kemudian menjadi konsensus bersama, itu pun tetap tidak menangkap senyatanya presentasi kehendak.
Manusia memiliki asumsi, pada permukaannya, kemudian ia mempunyai argumentasi pada tingkat kedalamannya. Sewaktu-waktu, asumsi dan argumentasi tersebut menjadi semacam cara berpikir, bila kriteria populis misalnya, telah dideklarasikan oleh batin per-individu.
Realitas dunia yang sudah terlampau mengglobal ini, dalam beberapa hal, terdapat kesulitan demi menemukan kategori tertepat untuk sebuah lingkar native manusia. Ketidakmudahan ini, cukup membuat hegemoni global, seperti penggunaan simbol bahasa, menjadi menjadi-jadi.
Kini, alam raya manusia yang tengah dilanda krisis multidimensional, ditambah covid-19, memuat beban kesejarahan yang tidak mudah untuk di restorasi. Terlebih bagi manusia macam buruh, yang memuat sifat dependen.
Syahdan, "revolusi" yang tengah manusia hadapi sekarang ini, yang notabenya (mungkin) unpredictable, memerlukan sebuah narasi kongkret akan stabilitas peran. Jejak literer sesama, penting diulik kembali, bukan sebagai nostalgia an sich, namun bermaksud menuai pola baku dinamika hidup.
Salah satu hal yang mungkin terabaikan oleh manusia modern, adalah dibuangnya sisi kelekatan afeksi pada simbol tertentu, misalnya merah dan putih, jiwa dan raga, kata dan makna, fenomena dan neumena, covert dan overt, sugih dan kere, subjek dan objek, forma dan materia, jati dan diri, etc.
Banyumas, 13 Oktober 2020.
Comments
Post a Comment