Skip to main content

Posts

Mengalami Diri (1)

Beberapa orang, pasti tak sanggup menyadari sepenuhnya, atas apapun saja yang tengah mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan. Paling maksimal, barangkali memahaminya secara sepihak, terpisah oleh waktu, ataupun menunggu konfirmasi dan validasi dari pihak lain. Premis ini sangat boleh untuk di uji, diabaikan, ataupun dipercayai. Toh, riset terkait hal ini sudah sangat banyak dibahas.   Pengetahuan atas kesadaran diri yang berkembang “lambat”, membuat beragam metode bermunculan, yang mana tujuannya adalah, sama-sama mengejar atas seminimal-minimalnya, menjawab pertanyaan kapan dan bagaimana seseorang tersebut benar-benar “sadar”. Misalnya, apakah waktu siang lebih sadar dari pada malam, atau sebaliknya.   Demikian esensialnya kesadaran, serta pengetahuan atas ketidaktahuan akan hal tersebut, sedikit demi sedikit mampu melebarkan pengkondisian diri pada ruang bernama “jeda”. Jeda itu, barangkali semacam “keluar” dari “arus”, dan sementara memposisikan diri sebagai pengamat ...
Recent posts

Resistensi Antimikroba: Ancaman Nyata bagi Indonesia

  🚨 Resistensi Antimikroba: Ancaman Nyata bagi Indonesia — Unduh Buku Ini Sekarang, Gratis! Pernahkah Anda membayangkan dunia tanpa antibiotik yang efektif? Di mana infeksi sederhana bisa mematikan, operasi kecil menjadi berisiko tinggi, dan rumah sakit berubah menjadi ladang penyebaran bakteri mematikan? Ini bukan skenario fiksi. Ini adalah ancaman nyata yang disebut resistensi antimikroba — dan Indonesia berada di garis depan krisis ini. 📘 Buku Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia karya Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., MD., Ph.D. hadir sebagai panduan ilmiah sekaligus seruan moral untuk melawan krisis yang mengancam masa depan kesehatan bangsa. "Buku ini tidak sekadar mendiagnosis masalah, tetapi bermaksud mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama memetakan solusi. Dengan pendekatan multidisipliner, kami mencoba membongkar kompleksitas persoalan dan menawarkan kerangka pemecahan yang komprehensif." Cetakan 1: Desember 2024 Ukuran: 14x21 ...

📘 Menari Bersama Sigmund Freud – Antologi Puisi Psikologi Penuh Imajinasi dan Satir

  📘 Menari Bersama Sigmund Freud – Antologi Puisi Psikologi Penuh Imajinasi dan Satir Ingin membaca buku puisi bertema psikologi yang tidak biasa? Menari Bersama Sigmund Freud adalah antologi puisi unik yang memadukan teori psikoanalisis, satire, dan sentuhan spiritual dalam satu paket bacaan yang memikat dan menggugah pikiran. 📌 Tentang Buku: Perpaduan Psikoanalisis, Humor, dan Imajinasi Bebas Judul: Menari Bersama Sigmund Freud Genre: Antologi puisi psikologi Format: PDF – GRATIS Penulis: 15 penulis alumni psikologi & sastra Editor: Rendi Brutu Penerbit:  Penerbit Revormasi | PT. Revormasi Jangkar Philosophia Buku ini bukan kumpulan puisi yang kaku. Ia merupakan karya eksperimental yang menggabungkan kebijaksanaan Freud, refleksi bawah sadar, dan kritik sosial menjadi barisan kata yang puitis, absurd, dan jenaka. 🌟 Mengapa Anda Harus Membaca Buku Ini? ✅ 1. Buku Puisi Psikologi Paling Unik di Tahun Ini Berisi tema-tema dalam psikoanalisis seperti ala...

Aku tak pernah benar-benar memilih

Aku tak pernah benar-benar memilih, Aku hanya mendengar panggilan itu, Dari jauh, dari waktu yang tak kukenal, Suara yang berbisik di antara sorak dan nyanyian. Merah menyala, seperti jantungku berdegup, Putih sebersih harapan yang tak pernah padam, Di bawah langit Indonesja, aku berdiri, Bukan sebagai penonton, tapi sebagai bagian. Aku terkadang bertanya mengapa, Mengapa tiap denting waktu, Selalu ada namamu di dalamnya, Selalu ada warnamu di setiap cerita. Arsenal, Bukan aku yang memilihmu, Kamulah yang memanggilku, Ke rumah yang tak pernah sepi, Ke cinta yang tak pernah mati. Aku tahu, dalam setiap jatuh dan luka, Ada alasan untuk tetap percaya, Karena bukan hasil yang membuatku tinggal, Tapi karena aku telah dipilih, Oleh meriam yang abadi.

Mengecewakan

Aku mengecewakan. Kamu mengecewakan. Kita semua mengecewakan. Sekarang, nanti, dan esok hari. Semacam makan dan minum. Sejenis tidur dan bangun. Kita sering berharap, bahkan terlalu berharap. Kita menanam impian seperti petani menanam benih di ladang subur. Kita percaya, dengan cukup sinar matahari dan hujan, semuanya akan tumbuh indah. Tapi kenyataan tak selalu berpihak pada logika kita. Kadang, ladang harapan kita dihantam kekeringan panjang, kadang banjir bandang datang tanpa diundang. Lalu kita kecewa. Tapi pernahkah kita bertanya, sebenarnya siapa yang kita salahkan? Dunia? Tuhan? Orang lain? Atau justru diri kita sendiri yang terlalu naif percaya bahwa hidup akan selalu berjalan sesuai dengan peta yang kita gambar? Kekecewaan adalah harga yang harus kita bayar karena kita berani bermimpi. Ia adalah bentuk ‘pajak emosional’ yang dikenakan kepada siapa pun yang ingin menggapai sesuatu. Mengapa Kita Kecewa? Kekecewaan lahir dari sebuah jurang yang menganga di antara ...

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

Pemakzulan Jokowi: Sebuah Naskah Politik yang Kompleks

Secara substansi [alasan pemakzulan] bukan hal sederhana, dan secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus ke DPR, MK, dan MPR,  begitu kata pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengutip dari bbc.com. Isu pemakzulan muncul sebagai bukti dari dinamika yang menantang di koridor kekuasaan. Berakar dari sejarah, isu pemakzulan mencerminkan esensi meminta pertanggungjawaban pemimpin. Isu pemakzulan melampaui sekadar proses politik; ia merajut ke dalam esensi norma sosial dan nilai budaya. Signifikansi isu pemakzulan bergema dalam kemampuannya membentuk lintasan suatu bangsa, membentuk identitasnya, dan memengaruhi jalannya sejarah. Menggali mekanika pemakzulan mengungkapkan prosedur hukum yang rumit dengan implikasi mendalam. Dasar-dasar pemakzulan melibatkan dari pelanggaran etika hingga pelanggaran konstitusional, menciptakan jaringan pertanggungjawaban yang kompleks. Sejarah bergema dengan contoh isu pemakzulan, masing-masing meninggalkan tanda yang tak terha...

Jalan Panjang Menuju Infrastruktur Sampah yang Berkelanjutan

  Indonesia, negara kepulauan dengan populasi terbesar di dunia, saat ini menghadapi krisis sampah rumah tangga yang serius. Volume sampah terus meningkat secara signifikan, menciptakan tekanan besar pada infrastruktur pengelolaan sampah yang ada. Meskipun ada upaya untuk mengatasi masalah ini, realitasnya adalah bahwa jalan menuju infrastruktur sampah yang berkelanjutan di Indonesia masih sangat panjang.   Tantangan Infrastruktur Sampah yang Ada Penting untuk mengakui bahwa Indonesia menghadapi masalah infrastruktur yang serius dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa volume sampah rumah tangga di negara ini telah melampaui kapasitas infrastruktur yang ada (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Ini menciptakan berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah fasilitas pemilahan dan daur ulang yang terbatas. Sebagian besar wilayah di Indonesia belum memiliki infrastruktur yan...

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-

Oase Utopia (1)

Kematangan Mengalami

...tiada yang terlewat,  kecuali naik dan turunnya kehambaran mengalami. Lantas,  siapa jiwa yang mengalami ini? Terus terang, tiada hari tanpa perlawanan.  Tak ada waktu, tanpa penerimaan. Konon,  kanon hanya milik si hebat. Dan atau, kepunyaan si berbeda banyak atau sedikit. Lalu,  proposisi macam apa lagi yang sanggup mengalami. Mengalami kematangan, kematangan mengalami. Purwokerto, 9 Desember 2022

Mengalami Diri (18)

Sampai pada tataran yang lebih estetis, sesungguhnya kita ini tengah mengalami keterlemparan yang teratur. Semacam tingkat paradoksal sekaligus absurditas yang memusar, diantara kecemasan dan dengan keyakinan. Sekalipun tidak dicerna sedemikian rupa, toh ujung-ujungnya akan menemukan sendiri apa yang sama-sama kita sebut sebagai terminal diri. Disana, ada yang berlalu-lalang bersama tas kecil berisi recehan uang. Terdapat pula yang melamunkan romansa terwujudnya impian. Dan nantinya, semua akan berhenti di jawaban ke kebaruan pertanyaan. Manusia sama-sama memilih pola yang ia yakini tepat, tanpa pretensi memprimerkan yang barangkali masih sekunder. Apalagi, manusia memang terlekat dengan sisi situasional yang lebih dinamis ketimbang wilayah personal yang relatif statis. Syahdan, mayoritas diantara kita terkapar lemas oleh pandemi yang belum juga usai. Beberapa lainnya, menikmati wabah ini sebagai afirmasi kelicikan ekonomis hingga politis. Silahkan saja, toh semuanya akan sampai juga p...

Lewat Halaman Hati (25)

Hari-hari, tak berpenghuni. Menitipkan pesan, kepadaku. Lihatlah, engkau seperti mayat orang Afrika Tanpa nama, bukan siapa-siapa Dengarlah, disana ada yang lupa Tentang dirinya, atas arahnya Segeralah, menemuinya. Beranjaklah, merangkulnya ***Banyumas, 30 November 2021.

Mengalami Diri (17)

Klausul: "Apapun yang tidak sesuai, pasti tidaklah baik"; menjadi pengalaman pahit akhir-akhir ini. Dari mengenyam produktif menjadi boros, dari kasuistik potensi beralih ke impotensi, dari mendulang peluang malah terperosok bangkrut. Memang tidaklah sanggup dipungkiri, bahwa mengkonversi ide menjadi entitas kreatif merupakan jalan menggiurkan bagi seorang "pembangkang" seperti saya. Terlempar dari keramaian, menyusup ke ruang sepi tak berpenghuni. Untungnya, ditengah pergulatan putus asa masih ada semacam katarsis untuk merilis rasa, "November Rain" salah satunya. Ia bukan sekadar lagu, tetapi endapan hidup. Sejenis pendulum makna yang terdeskripsi sangat padat, minimal bagi saya. Entah bagiamana mekanismenya, hampir selalu kebetulan menjadi sahabat karib yang menyelimuti pengalaman batin seseorang. Batin yang ceria ataupun suram, sama-sama meneteskan benih jangkar untuk mengalami apapun saja kedepannya. Syahdan, mungkin bagi sebagian orang Viktor Frankl ...

Mengalami Diri (16)

Menghela nafas di tengah kegamangan, agaknya menjadi tema sentral dalam menapaki waktu akhir-akhir ini. Andaian atas "kegamangan", memberi sinyal tersendiri bagi pegangan yang beranjak tak adekuat. Mencari ulang yang adekuat itu, bukanlah hal yang ringan. Apalagi alih-alih menemukan yang dituju, kadangkala yang ditemukan justru distraksi baru. Entah kenikmatan yang sama sekali baru, atau tujuan lama yang bersemi kembali. Situasi gamang, kerap lebih membahayakan jika dibiarkan. Semacam gusar yang menggelayut diam, lambat laun meledak tak tentu tempat dan kapan. Barangkali, sesekali kita menjumpainya dalam rasa lelah tak berujung disaat istirahat sudah dirasa cukup. Juga rasa yang tak semenarik biasanya, lebih ke hambar. Pencarian tidak ringan atas yang adekuat itu, kerapkali membingungkan pertautan isi hati dan kepala. Dilema tak berujung, pun kerumitan yang terlampau kompleks. Akibatnya, komplikasi hubungan jiwa dan raga menjadi kabut penutup. Berjuang untuk keluar dari zona ...

Mengalami Diri (14)

September 2021, nyaris selesai. Memberi penanda pada produktivitas saya dalam menulis, mengalami penurunan. Beberapa alasan yang mendasarinya ialah, perubahan aktivitas. Namun, pokok penyangkalannya yakni "kepahaman diri bahwa diri ini belum sepenuhnya paham." Pada sebagain kasus, "mengetahui bahwa saya tidak tahu" itu bagus. Bahkan, ilmu tertua di dunia (baca: filsafat), mengatakan demikian. Konon Socrates, "puncak pengetahuan adalah tidak tahu". Pemahaman akan hal tersebut, begitu penting. Tetapi, agaknya penting pula untuk selalu mengalami elaborasi dan evaluasi, menyesuaikan berkembangnya diri. Mengetahui bahwa diri tidak tahu, semoga kita sudah paham akan hal itu. Bahwa sangat berbeda, namun sangat tipis dengan apa itu kealpaan pengetahuan. Mudah-mudahan semua saling mengerti, mana yang konotasi dan mana yang denotasi. Nun, pada akhirnya 'kuda-kuda' mengerti bahwa diri tidak mengerti ini, pada sisi lainnya berkemungkinan mengalami kekacauan. H...

Sebuah Ingatan Ilmuwan Tarkam

Catatan Pengantar Di umur yang sudah melintasi seperempat abad, agaknya saya merasa perlu untuk "sedikit" mengumpulkan beberapa ikhwal endapan fenomenologis yang saya punya.  Saya memberi andaian, sejatinya apa yang sejauh ini saya miliki, bukanlah sesuatu yang "layak" untuk diketahui orang lain. Sebab, rasa-rasanya tak penting-penting amat, apapun saja yang saya alami dan miliki, adalah figur berharga bagi Panjenengan semua. Ini, buku ini, tak lain hanyalah tulisan dari manusia yang kalah berkali-kali; sesosok manusia yang telah membuktikan dirinya, bahwa sandangan "sia-sia" adalah gelar prestisius dan kemewahan durjana, yang mungkin sempat ada di pagelaran sejarah.

Sejenis Pengantar

Siapa yang mengenal saya? Apakah mereka; keluarga, sahabat, teman, tetangga, bakhan pasangan. Semuanya atau yang sejenisnya, apakah benar-benar mengenal makhluk bernama saya?  Barangkali, pertanyaan diatas terkesan klise. Seolah-olah semacam lamunan lewat kemudian pergi, tak bernilai apapun, jauh dari kata bermakna. Sia-sia belaka. Syahdan, sesekali agaknya "perlu" untuk sejenak coba kita tempatkan yang terkesan klise itu, pada titik tekan sejenis perenungan.  Ya, "barangkali yang mungkin", betapa "jangan-jangan" sering dan kerap orang-orang justru "diam-diam" mempertanyakan ikhwal tersebut itu. Saat ia sendiri, pada keheningan dan keramaian yang menjelma sepi, saat ketika yang lain tertidur di dini hari. Banyumas, 18 Agustus 2021.

Mengalami Diri (13)

Pada pertengahan tahun 2021, tapal batas masa telah memasuki  pendulum menuju akhir. Manusia masih manusia, tumbuhan dan hewan pun demikian. Menjalani peran, sekaligus bergantian peran. Perubahan memang niscaya, sekalipun kita sama-sama kerap membencinya. Sebab, tak ada yang rela meninggalkan kemapanan, terlebih jika rentang perjalanannya justru merosot tak menuai kata membaik. Stagnasi dihindari, apalagi degradasi. Bagi mereka yang menganggap "dunia" tak "penting-penting amat", pasti lebih berbiasa melakoni kebobrokan. Berbeda dengan mereka, yang meletakannya pada titik "segalanya". Lagi-lagi, kita diingatkan akan "permainan makna". Dalam artian, apapun saja tak mungkin berdiri dalam ruang kosong. Senang itu makna, sedih pun demikian. Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan hampa; tak merasakan senang ataupun sedih? Secara kategoris, hampa tidaklah termasuk dalam makna, sekalipun bisa diklaim juga, bahwa itu masuk pula dalam makna.   Mau percaya y...

Catatan Untuk Dirimu

mengada, bukan kehendak tak pernah berhak memiliki, kemudian hilang awan menjadi hujan hanya gerimis, hujan barang sebentar lembab menjerembab coret saja kenangan, bilas tanpa menyisihkan busa-busa dosa anggap lah, tak pernah ada saya saya tak ada pernah ***Banyumas, 31 Juli 2021.