Beberapa orang, pasti tak sanggup menyadari
sepenuhnya, atas apapun saja yang tengah mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan.
Paling maksimal, barangkali memahaminya secara sepihak, terpisah oleh waktu,
ataupun menunggu konfirmasi dan validasi dari pihak lain. Premis ini sangat boleh
untuk di uji, diabaikan, ataupun dipercayai. Toh, riset terkait hal ini sudah
sangat banyak dibahas.
Pengetahuan atas kesadaran diri yang berkembang “lambat”,
membuat beragam metode bermunculan, yang mana tujuannya adalah, sama-sama
mengejar atas seminimal-minimalnya, menjawab pertanyaan kapan dan bagaimana seseorang
tersebut benar-benar “sadar”. Misalnya, apakah waktu siang lebih sadar dari
pada malam, atau sebaliknya.
Demikian esensialnya kesadaran, serta pengetahuan atas
ketidaktahuan akan hal tersebut, sedikit demi sedikit mampu melebarkan
pengkondisian diri pada ruang bernama “jeda”. Jeda itu, barangkali semacam “keluar”
dari “arus”, dan sementara memposisikan diri sebagai pengamat di tepian
arusnya. Seperti duduk sejenak ditepian kolam, sembari menatap ikan-ikan
berenang didalamnya. Ikan-ikan itu, semacam keriuhan alam perasaan dan pikiran,
yang melaju beraturan atau tak berarturan. Terkadang berirama sesuai, sesekali
bernada distorsi.
Menilik kesadaran, agaknya memiliki fakultas yang
berlainan dengan pengalaman, meskipun koherensi atas keduanya, acapkali tak
menuai garis demarkasi. Satu sisi berlaku menimbang sebab-akibat, sisi lainnya
berwatak ego sektoral. Biasanya, hal tersebut barulah muncul saat interaksi di
gelar, sekalipun arahnya lebih ke kejadian tarik-menarik antara kebutuhan dan
kepentingan.
Syahdan, dua arah yang berlawanan antara meng-alami
dan men-sadar-i, tetap berkemungkinan mencapai harmoni dan disonansi. Kombinasi
abadi antara keduanya, ternyata menjadi warna tersendiri yang hanya mungkin
dihadapi oleh spesies bernama manusia. Hingga, keresahan pribadi seringkali
berfrekuensi sejenis, dengan keresahan bersama. Meskipun, akan sangat keliru
jika kemudian menyamakan kesadaran dan pengalaman diri dengan kesadaran dan
pengalaman publik.
Secara terpisah, sangat mungkin untuk kita mirip-mirip dengan pihak lain. Namun selebihnya, apapun saja yang terlewat dan akan terlewat, menjadi kesunyian masing-masing. Jika premisnya adalah terkoneksi, belum tentu berakhir pada konklusi yang sebangun. Maka, mengalami diri disini, memungkinkan kita untuk sampai pada mengalami semesta, tanpa mengurangi ataupun melebihkan.
***Banyumas, 9 Februari 2021.
Comments
Post a Comment