Skip to main content

Mengalami Diri (1)

Beberapa orang, pasti tak sanggup menyadari sepenuhnya, atas apapun saja yang tengah mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan. Paling maksimal, barangkali memahaminya secara sepihak, terpisah oleh waktu, ataupun menunggu konfirmasi dan validasi dari pihak lain. Premis ini sangat boleh untuk di uji, diabaikan, ataupun dipercayai. Toh, riset terkait hal ini sudah sangat banyak dibahas.

 

Pengetahuan atas kesadaran diri yang berkembang “lambat”, membuat beragam metode bermunculan, yang mana tujuannya adalah, sama-sama mengejar atas seminimal-minimalnya, menjawab pertanyaan kapan dan bagaimana seseorang tersebut benar-benar “sadar”. Misalnya, apakah waktu siang lebih sadar dari pada malam, atau sebaliknya.

 

Demikian esensialnya kesadaran, serta pengetahuan atas ketidaktahuan akan hal tersebut, sedikit demi sedikit mampu melebarkan pengkondisian diri pada ruang bernama “jeda”. Jeda itu, barangkali semacam “keluar” dari “arus”, dan sementara memposisikan diri sebagai pengamat di tepian arusnya. Seperti duduk sejenak ditepian kolam, sembari menatap ikan-ikan berenang didalamnya. Ikan-ikan itu, semacam keriuhan alam perasaan dan pikiran, yang melaju beraturan atau tak berarturan. Terkadang berirama sesuai, sesekali bernada distorsi.

 

Menilik kesadaran, agaknya memiliki fakultas yang berlainan dengan pengalaman, meskipun koherensi atas keduanya, acapkali tak menuai garis demarkasi. Satu sisi berlaku menimbang sebab-akibat, sisi lainnya berwatak ego sektoral. Biasanya, hal tersebut barulah muncul saat interaksi di gelar, sekalipun arahnya lebih ke kejadian tarik-menarik antara kebutuhan dan kepentingan.

 

Syahdan, dua arah yang berlawanan antara meng-alami dan men-sadar-i, tetap berkemungkinan mencapai harmoni dan disonansi. Kombinasi abadi antara keduanya, ternyata menjadi warna tersendiri yang hanya mungkin dihadapi oleh spesies bernama manusia. Hingga, keresahan pribadi seringkali berfrekuensi sejenis, dengan keresahan bersama. Meskipun, akan sangat keliru jika kemudian menyamakan kesadaran dan pengalaman diri dengan kesadaran dan pengalaman publik.

 

Secara terpisah, sangat mungkin untuk kita mirip-mirip dengan pihak lain. Namun selebihnya, apapun saja yang terlewat dan akan terlewat, menjadi kesunyian masing-masing. Jika premisnya adalah terkoneksi, belum tentu berakhir pada konklusi yang sebangun. Maka, mengalami diri disini, memungkinkan kita untuk sampai pada mengalami semesta, tanpa mengurangi ataupun melebihkan.


***Banyumas, 9 Februari 2021. 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-