Sebagai manusia yang kerap memalingkan pembicaraan, mereka tidak serta merta kurang kompatibel dalam memahami konten soal. Asumsi yang paling general biasanya meliputi dua hal. Pertama, terkait kepentingan dan kepedulian. Sedang kedua, berkelindan antara relevansi dan jam terbang.
Dua asumsi tersebut, cukup untuk menambal rasa penarasan umum. Sekalipun, dalam hal-hal tertentu, kerap menghancurkan kemewahan kolektif-kolegial kemesraan bercakap-cakap.
Sekarang, misalnya kita taruh "keperluan ekonomi" dalam soal palingan pembicaraan. Pada dasarnya, keperluan ekonomi senantiasa memuat sisi yang paling privat bagi individu, sekaligus menjadi rahasia umum untuk membuat jokes tongkrongan.
Kalau soal penentuan kebijakan yang lebih masif, ketertujuan pertanyaannya, untuk saat tentu bukan kepada kalangan kami.
Alih-alih membereskan pelbagai lilitan hutang, mereka justru malah menumpuk-tunda tugas utamanya. Sibuk mencari suaka, sembari mempersiapkan korban selanjutnya.
Syukur, sesekali kami di ingatkan oleh keadaan, kalau-kalau hidup ini nyata keras dan cadas, jadi kami terlatih, untuk tidak mudah mengerasi siapapun dan dimanapun.
Syahdan, kami dan mereka, sesekali punya kemiripian konteks. Katakanlah, dalam bidang memilih dosa. Entah yang sosial, ataupun yang teologis, dosa tetaplah dosa. Padat dengan segala konsekuensi dibalik sebab dan akibatnya. Cuman cukup rugi, kalau dosa kami dan mereka, ternyata malah membuat ketidaksantunan dalam bersikap, semakin dihargai.
Ternyata, kami dan mereka harus selalu mengingat, bahwa "jika begini" bisa jadi "tidak begitu". Ini berlaku pula, pada manusia manusia semacammu.
***Solo, 4 Agustus 2020.
Comments
Post a Comment