Hampir selalu ada kerangka pekat, yang tak mampu di cerna oleh nalar. Sejenis puzzle, namun tak berwajah runtut. Mirip dengan silogisme, tetapi absen dari konklusi.
Beberapa manusia, kami yakin sempat menjadikan hal tersebut titik tekan permenungannya. Adalah mengenai pertanyaan yang dimunculkannya, disusul dengan jawaban yang disertakannya.
Sekalipun pertanyaan itu tidaklah hidup sebagai anima, tetapi ia tidaklah mati sebagai anima pula. Pertanyaan hidup sebagai karpet merah manusia, menjembatani apa saja yang menurutnya mampu memberi pengantar menuju jawabannya. Sesekali, pertanyaan sekadar bertahan dalam kutat struktur kepala penggunanya.
Dari sekian banyak hologram alam yang berkelindan di jagat ini, mesti kami temui pelbagai bentuk dan sifat yang mencolok jiwa. Kepala-kepala berisi gelisah, yang lain dari pada yang lain. Guratan-guratan wajah yang sama sekali berbeda, dari satu dengan tatap ke pandang berikutnya.
Sementara kami terkecoh akan fatamorgana alam, mereka-mereka yang berjenis sama namun berbeda, terus melanjutkan jalannya sendiri. Seperti tak terhubung, namun sekaligus menaruh benang sambung yang tarik-menarik.
Sejauh ini, kami tidak menyadari apa dan bagaimana mereka bertumbuh. Kapan mereka berkembang, dimana mereka inkubasi, dan kenapa mereka sebegitu lain berbeda.
Yang pada akhirnya, kami menyerah dengan sinyalemen dari bawah sadar, bahwa mereka-mereka itu memiliki kosmosnya sendiri.
Mereka hidup, seolah tak butuh unsur mekanis persepsi society. Mereka, semacam tak bersedia menerima mekanis covert dari sesamanya.
Dan kami, akhirnya bersimpul sederhana, bahwa mereka lahir dan berkembang biak, semata-mata untuk membersamai manusia manusia semacammu, tanpa peduli dengan mutual-kalkulatif.
***Solo, 10 Agustus 2020.
Comments
Post a Comment