Skip to main content

Manusia Manusia Semacammu (7)

Sebagai bagian manusia yang mencintai keseimbangan, kami terkadang harus memaksakan diri untuk mengikuti perkembangan wacana, salah satunya mengenai pembahasan gender. Bila di akumulasikan, ternyata kami lebih sering mempelajarinya dari sudut pandang empiris, bahasa lainnya terjun langsung. Lebih sedikit belajar langsung dari literatur macam jurnal.

Titik tekan pada wacana gender, bertolak dari pencariannya terhadap "peran" pria dan wanita. Walau dari kesejarahannya wanita kerap menjadi "korban", akan tetapi sejatinya tidaklah demikian. Argumennya sederhana, ialah tentang dominasi pria atas kesempatan lebih untuk bergerak "diluar".

Meski jauh dari kata valid, kami tidak gegabah untuk main truth claim. Toh, pendidikan kami tidak memberdayakan sepenuhnya, kecuali pada sisi-sisi tertentu saja. Kami dibiasakan mandiri mencari, disalahkan saat keliru, dicampakkan ketika berbeda pemahaman.

Seperti pada umumnya yang terjadi pada organisme sosial terkecil macam keluarga, pria dan wanita acapkali menjalankan peranan dengan baik, menyesuaikan konsensus yang mereka tanda tangani. Sekalipun, distingsi peran kadang pula membuat panas, bahkan pecah kongsi.

Agaknya, dalam lingkup organisme sosial yang lebih besar, kami dan mereka yang memiliki "tangan" kepedulian, bisa lebih meresapi kepiawaian peran wanita dan pria pada lingkup organisme terkecil. Tentu, meresapinya dari arah pandang mereka yang sudah melampaui pengalaman, minimal 50 tahun sebagai kemungkinan terkecil dari asumsi eros an sich.

Syahdan, kami berkeyakinan, bahwa bias gender tidak memandang dominasi atau eksploitasi. Tetapi lebih kepada kewaspadaan mengelola penerimaan, menyesuaikan prinsip-prinsip yang berlaku bagi pihak-pihak berkepentingan.

Sebab terlalu banyaknya gula pada kopi, tidaklah membuat kopi menjadi putih, tetapi rasanya jelas bukan murni kopi lagi. Akibat dari itu semua, manusia manusia semacammu, hendak belajar kembali, dari kesiapsediaan menerima kepedihan, tanpa kemudian menghindarinya apalagi meninggalkan.


***Solo, 5 Agustus 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-