Mata manusia melebar, sesaat setelah fakta menyenangkan diakuisisi oleh persepsinya. Sebaliknya, mereduplah matanya memandang buruknya fakta. Dikotomi perjalanan hidup manusia, yang tak terperikan oleh kecanggihan teknologi apapun.
Keriuhan sejarah manusia hampir (mungkin), menuai seluruh segmentasinya. Dari sekadar guratan primer-biologis an sich, sampai hal-hal yang benar-benar tersier ditemukan oleh makhluk ber-akal ini. Semua terasa begitu cepat, ketika literatur-literatur sejarah dikupas dan diulik oleh para futurolog.
Beberapa titik-titik kesejarahan manusia, banyak yang terulang. Baik dan buruknya tersedia. Yang baik bisa hadir oleh hasil perolehan sumbangan manusia sebelumnya, begitu juga yang buruk. Sedang diantara ketidaktahuannya, mungkin terjadi keterputusan informasi.
Kontrol atas banyaknya kejadian, akan sulit terkendali oleh si manusia tersebut. Maka, beberapa memilih untuk meng-imitasi perilaku. Sikap-sikap semacam itu, ada untungnya bagi yang kuat dan populis. Lagi-lagi, manusia lemah akan tunduk, begitu juga berlaku untuk manusia yang dilemahkan.
Syahdan, kemampuan memprediksi masa depan, adalah kecakapan primer yang agaknya masih minim dipunyai oleh pemilik budaya kolektifis. Sedang, sejarah mencatat, bahwa pemenang perang adalah mereka yang memiliki budaya individualis. Plus-minus ini akan terus berlaku, sebagai lahan ujian. Sekalipun aktualisasi membalikan keadaan, akan tetap eksis.
***Banyumas, 6 Oktober 2020.
Joss mantap
ReplyDeletekaro disambi😁
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete