Masih ia cari bentuk paling sempurna, dari kekacauan batin yang menganga. Ia, tak berhentinya menempuh, untuk sekadar sanggup bercengkrama dengan wajah menatap teduh. Sesekali, ia berjumpa pada angin yang meratap, menyela langkah lunglainya. Belum genap manusia, masih dikejarnya. Sekali lagi, hanya ia yang mengalami, begitu panjang rentang kepedihan. Meskipun, canda tawa hampir selalu ia jumpa, tetapi itu hanyalah sekadar romansa. Mudah hinggap, seketika lenyap. Tak ubahnya waktu, berlalu menyandarkan senyuman pilu. Mereka, bersembunyi dibalik haru, menyejarah bak samudera Hindia-Walanda. Semua penuh, rahasia-rahasia tak tersentuh. Batin yang sunyi, jiwa yang terlampau senyap, nasib perempuan Sumatera yang ia sasar sebagai pertautan spiritual sastrawi. Hinggap disanubarinya, empati ber-emansipasi. Walau, tak ada ruang untuk sekadar menyelinap, membebas-leburkan batin-batin berlumuran jeritan. Syahdan, tali-temali pancang tindakan, ia susun sebagai titipan. Sekadar, menemani jerih payah...