Skip to main content

Posts

reinkarnasi

apa yang bisa aku rasa rasa yang bagaimana  mati mati mati mengada kenapa kenapa bagiamana hidup hidup hidup sebelumnya sesudahnya sejatinya ***Cilacap, 15 Juni 2021.

Mengalami Diri (10)

 Juni, telah melintas di hari ke lima. Mengajak refleksitas pikiran pada rentang jalan yang terlewati, dimana up 'n down, agaknya cukup mematangkan aksioma hidup ini. Konon, komparasi tidaklah sehat untuk meninjau prestis. Kemajuan atau kemunduran, mungkin belum sepenuhnya kita akui dengan pertumbuhan diri, melainkan ia dan mereka telah sampai mana, sedangkan saya sudah berada pada titik yang mana. Barangkali, semacam kodrat godaan duniawi yang hanya berlaku menjadi alat uji. Dahulu, katakanlah 10 tahun yang lalu, manusia menganggap dirinya berhasil, jika dan hanya ketika ia sanggup memenuhi kebutuhan primer, dalam lingkup kecil. Tetapi saat ini, tentu berbeda sama sekali, yang mana hal tersebut di reinforce oleh perluasan jangkauan penglihatan dan pendengaran akses digital. Hingga, yang mungkin sebenarnya telah cukup, sontak merasa kurang. Syahdan, ruang-ruang kepedulian untuk mengaca; membaca ulang sejarah diri, perlu sesekali di agendakan. Bukan sekadar menjadi trend mental heal...

Mengalami Diri (9)

Syahdan, wacana tentang kedirian hampir selalu menarik perhatian setiap orang. Sekalipun, lahirnya akar social science lebih belakangan lahir ketimbang hulu natural science, sejak Socrates membawanya. Namun, agaknya tumbuh kembang atas pengamatan kedirian tak lekang oleh zaman, membumi antar generasi. Banyak sekali method, untuk kemudian mendekati apa dan bagaimana kedirian ini. Mulai dari percakapan awam, hingga melibatkan refleksi yang menyeluruh dan radikal. Tetapi satu hal, garis bawah selalu hinggap pada "diri", yang tidak stagnan.  Aspek-aspek yang terus berkelindan dalam kedirian ini, tak terelakan dari tiga prinsip dasar; biologis, sosiologis, serta psikologis. Diluar tiga hal tersebut, hanya termasuk pengayaan an sich; semacam ruang kosong atas rentang jalan perjalanan diri itu sendiri. Pada akhirnya, kepahaman atas dinamika diri yang terjadi dibalik perilaku diri tersebut, menegaskan kembali bahwa kuasa atas diri seperti bagaimana yang akan menjadi persona, nyaris m...

Dalam Jalan

Selayaknya hidup, Hidup selayaknya.  Tak layak hidup, Langkah yang ber-riak; dangkal di ingat, terlampau permukan di makna Sia-sia hidup, Jikalau hidup hanya hidup Tak banyak di cerna, Hanya hidup sewajarnya di tutup Moral moral moral Bukan, Oral oral oral Hingga, Tak lagi hingga Sekalipun, Hingga pun berbatas ***Cilacap, 16 Mei 2021.

Mengalami Diri (8)

Setelah sekian lama tanpa coretan di blog pribadi, agaknya kelelahan menuangkan ide dalam eksisten aksara, menuai sedikit kelegaan. Misalnya, atas arogansi truth claim; merasa benar. Pun, oleh karena pengalaman dan pengetahuan dalam diri yang kelewat krasan tak di uji. Rentang jalan terlalui begitu saja, ada makna yang dipetik, ada pula kesia-siaan yang melulu tak berbekas. Adakalanya pula, yang bermakna dan yang sia-sia, bergandeng kelindan akrab bersamaan. Terik siang, gelap malam, sunyi sore, sejuk pagi, menjadi hidangan tak terhindari dari adi kodrati yang Maha. Kita, titipan tak sepenuhnya sadar atas yang di titipi menjadi kosong dan hampa, oleh karena bias konstruksi akal berfikir.  Lalu, bagaimana dengan ia? Mereka yang mungkin sangat sedikir tersentuh oleh wacana elitis, misalnya konsepsi "sebelum cahaya", atau semacam format "ode to my family", hingga keluasan yang memadat pada "bohemian rhapsody". Barangkali, seisi alam hendak mengisi dari ruang-...

Lewat Halaman Hati (23)

semacam terlempar dari gelanggang, sebelum bertanding  perang kebatinan namun, waktu terus berjalan. siapa yang tau, sampai kapan tak ada cerita, bagi mereka yang berbicara; pada kediaman yang paling menggelisah berpasangan hanya kerumunan, tak ada nilai dari seberang lantang, menyelundup sampai tak berjarak konon, sekadar monoton monolog monolog luka tak sembuh seketika tanpanya, akankah kita pergi kesana nirwana,  tanpa definisi kebebalan, tak abadi keterbukaan, tak selamanya ***Banyumas, 24 April 2021.

Lewat Halaman Hati (22)

pada hari sore pada jalan, tak sempat sepi selebihnya, aku titipkan semuanya aku sandar genapkan apa mau di kata kepulangan  yang bagaimana kebelakang kedepan  sama saja menghadap membelakang ujungnya sama duduk duduk renung merenung lebih ke, melamun lamun sekalipun masih resah sajak ini, pastilah menyejarah pada wajahmu pada wajahmu pada wajahmu ***Banyumas, 24 April 2021.

Selepas Kepergianmu (1)

selepas kepergianmu, semua berontak diam. kau, gubah segalanya dari makna tersembunyi, pada ruang sempit tak berpenghuni selepas kepergianmu, arti terlempar dari kata. pun, bunga memenggal ronta  dari kilas berbekas luka, ke kediaman, masa silam  penuh cita apalah arti,  dari ini. jika bukan kau, pemberi api lalu, apakah kita sempat bersepakat,  untuk melupa  kemudian, bagaimana jika puncak impian, berlalu membiru pejam, pejam, pejam mata, telinga, rasa duduk, diam, hening ***Banyumas, 22 April 2021.

Belum Genap Manusia (11)

Masih ia cari bentuk paling sempurna, dari kekacauan batin yang menganga. Ia, tak berhentinya menempuh, untuk sekadar sanggup bercengkrama dengan wajah menatap teduh. Sesekali, ia berjumpa pada angin yang meratap, menyela langkah lunglainya. Belum genap manusia, masih dikejarnya. Sekali lagi, hanya ia yang mengalami, begitu panjang rentang kepedihan. Meskipun, canda tawa hampir selalu ia jumpa, tetapi itu hanyalah sekadar romansa. Mudah hinggap, seketika lenyap. Tak ubahnya waktu, berlalu menyandarkan senyuman pilu. Mereka, bersembunyi dibalik haru, menyejarah bak samudera Hindia-Walanda. Semua penuh, rahasia-rahasia tak tersentuh. Batin yang sunyi, jiwa yang terlampau senyap, nasib perempuan Sumatera yang ia sasar sebagai pertautan spiritual sastrawi. Hinggap disanubarinya, empati ber-emansipasi. Walau, tak ada ruang untuk sekadar menyelinap, membebas-leburkan batin-batin berlumuran jeritan. Syahdan, tali-temali pancang tindakan, ia susun sebagai titipan. Sekadar, menemani jerih payah...

Aspal Berhati (2)

terlempar, terjerembab. termehek, oleh lalu-lalang nasib biarkan, ia daki lembah disana. toh, pundak batinnya perkasa di langit yang masih sama, padanya. murung memaksa, padat merayap dari Solo, sampai ke sini. masih, belum juga dimana, kemana. oleh siapa, untuk siapa ***Cilacap, 21 April 2021.

Belum Genap Manusia (10)

Masih diambang gamang, sesekali apa yang menjadi titipan mendadak berontak. Tak sekali dua kali, bahkan semacam mengelindan dari ujung penantian ke lembah pemberhentian. Syahdan, keheningan yang diam dan berjalan, memaku pangku tangan menggali demi menemui, selat terjal bernama jiwa tenang. Meskipun, dinamika tak terhindari, dari denyut nadi kehendak melampaui. Hingga, rasa cemas mengalun mesra, membersamai keimanan arus bawah. Dari gelap, menuju gelap. Dari terang, ke terang kembali. Apapun saja, memang menyita korban dan pengorbanan. Sekalipun, kehilangan mesti memulai wedaran ejawantah yang bernyawa kebaruan. Belum genap manusia, lagi-lagi merupakan asa menempuh rentang jalan. Misteri mina dzulumati ila nur, seyogyanya tidak lepas dari yang adekuat disana-sini. Nun, kehendak bebas, batasan ruang gerak, kelapangan waktu, dan semua probabilitas nasib, mengabari jiwa-jiwa yang haus, akan kepasrahan ambisi. ***Banyumas, 19 April 2021.

Belum Genap Manusia (9)

Tidak ada yang kentara dari mimik wajahnya, ketakutan atau keberanian, sekalipun wajah dalam sudut pandang tertentu merupakan jembatan untuk sampai pada sisi lain kedalaman jiwa. Tatkala yang ia pengangi adalah peluang dan potensi, beserta probabilitas yang mengelilinginya, ia sama sekali tak bergeming sedikitpun dari upaya "duduk-duduk", menerungi rentang jalan, ber-refleksi ditengah nasib terus berjalan. Apapun saja, adalah pengalaman menghidupi untuk hidup, hidup untuk menghidupi. Dari kerumunan ia diam, dari kesunyian ia berteriak-teriak. Sendiri dalam kebersamaan, bersama dalam kesendirian. Syahdan, sekitaran hanyalah cipratan dari kuasa yang Maha. Ia pun sama, sekadar karunia yang tumbuh dari "mungkin" ketidaktahuan pengetahuan. Terlempar dalam senyap, mewedar dirinya sendiri dalam riuh-rendah peradaban. Belum genap manusia, hanyalah permukaan ditengah kedalaman. Pembuka dari isi-isi yang memaknai makna, penutup dari pembuka-pembuka selanjutnya. Bukankah, gena...

Aspal Berhati (1)

mengamati, lebih ke menanti. seutas tali, milik pelebar nyali ada apa disana, tak kunjung mengada. ia, diam memungkas kelihatan, sepi menyelam batinnya. pun, mengejek nasibnya kesana, tak ada. kesini, tak jua ditemui bagaimana, nanti. esok hari, milik buah hati berpasangan, melampaui adikodrati. mengalami, lebih sekadar menjalani ***Cilacap, 8 April 2021.

Belum Genap Manusia (8)

Selebihnya, memang tak lepas dari sekurangnya. Ketika manusia mengadakan dirinya, tidak lantas kemudian mereka ada dengan sendirinya. Hal ini, tidak sekadar menegaskan atas apa yang sama-sama kita sebut sebagai kausa prima. Sebenarnya, terlalu banyak hal yang sepertinya memungkinkan untuk diganggu gugat. Terlebih, atas segala hal yang menyangkut eksistensi kemungkinan. Akan kemana roda berjalan, disitulah letak perputaran. Melingkar naik diturun, pun turun dinaik. Waktu memang konstan, tetapi kesunyian rasa waktulah yang relatif.  Syahdan, ketika manusia beranjak dari satu kondisi ke kondisi berikutnya, cepat atau lambat, dengan persiapan atau asal-asalan, tetap saja ia akan sampai pada adikodrati kausal, dengan catatan terkendali dan penuh kesiapan, atau serampangan dan cenderung amburadul. Konon, keterkaitan relasi pergumulan sosial akan sangat menumbuhkan energi. Dilain pihak, oleh sebab keterkaitan relasilah manusia terpaksa sakit parah, luaran dan kedalamannya. Hingga, tanpa k...

Belum Genap Manusia (7)

Jangkar atas nama "kemungkinan", selalu hinggap dalam rentang perjalanan. Manusia lah, yang notabene memiliki akses "langsung" untuk ber-kendali atas alam kemungkinan tersebut. Maka, dualitas kiri dan kanan, tidak mungkin akan menyisakan pemberhentian. Adalah wajar, bila keraguan dan keyakinan bercokol kelindan pada tiap-tiap pra-putusan. Hal yang barangkali sama-sama ditemukan, ialah justifikasi atas apapun saja, yang menjadi kehendak itu sendiri. Memilih untuk sebegitu sumbu pendek pada pihak ekosistem sosial, hanya akan membebalkan keluasan. Sebagai pengayaan, sesama manusia yang terlampau gampang memberi label, hanya akan mempersempit ruang tumbuh-kembang kebudayaan. Tentu, budaya yang dimaksud disini ialah kebersamaan menjalin imunitas kebijaksanaan, dalam luaran kebermanfaatan. Sisi lain dari ini, yaitu perihal kompatibilitas ruang dan waktu, dengan kesiapan mental masing-masing dari kita. Tidaklah elok, bila standarisasi atas diri dipatenkan ketika sedang ata...

melintas di zaman (2)

tentang hati yang terpaksa patah, oleh harap yang tak juga menemui singkap ada apa gerangan? mengapa semua begitu sempit di kata tak berkesudahan aku mencarinya nama-nama, tempat-tempat, sisi pandang yang padat dan adekuat tak lama berselang memang, jangkar waktu dan perikesudahan demi apa lagi semua terjadi, perjalanan memaksa berlari lelah, bersambung di gelisah marah, bergulat di kediaman sekalipun tertawa apa adanya, itu hanya nyanyian sejenak dari panjang haluan kemarau ada apa kemaluan? tak ada malu di muka pengandaian sisi lain menjadi api, kemana lagi ditempuh perih-perih hujan tak lagi mewah bila penantian hanya menjadi perasaan ***Banyumas, 28 Maret 2021.

Melintas di zaman (1)

Keriuhan, sama sekali tidak mampu dilepas begitu saja dari ketenangan. Keduanya berhukum simultan, sesekali kelewat integral. Memisah-misahkan diantar lini dari entitas tersebut, hanya akan menuntut batin menyelami watak transaksional. Kelebihan atas kapasitas informasi yang mau tidak mau harus ditelan tiap harinya, acapkali menuntut kepekaan diri untuk menimbang, memberlakukan seapadanya tanpa pretensi membumbui makna. Hal ini tidaklah mudah, sekalipun manusia kerap melatih dirinya, tetap saja maknawiyah tetap terseret, walau secuil-cuil. Perubahan dunia atas pandemi, memaksa semua aspek mengalami kegamangan. Lingkup spekulatif, diam-diam menjadi rahasia umum untuk sengaja diberlakukan. Kanan ataupun kiri oke, terlebih semua tengah menempuh adaptasi yang tidak ringan. Syahdan, tertawa dan kesedihan jauh panggang di makna, sekadar pasti di nyata.  ***Banyumas, 28 Maret 2021.

(28) Lagi ngapain;

  malam, menempuh selasa. apa, mau di kata sunyi, menepi sendiri. letih, memasti katakan, kalimat-kalimat patahmu. pun, repihan atas adanya apa, hendak diucap. apa, hendak ditangkap rasanya, masih. rasa-rasanya, tetap ini, terkait waktu. penebusan, atas jeda ***Cilacap, 22 Maret 2021.

(21) Lewat Halaman Hati

  lahir, terlahirkan. lahir, dilahirkan semenjaknya, apa adanya. setelahnya, ada apanya realita, ke seharusnya. semestinya, menemui makna tak ada sesat, sekadar sasar-sasar. mudah, dipersulit apa, dibawa. kemana, memuainya ***Cilacap, 22 Maret 2021.

(20) Lewat Halaman Hati

cemas,  mengetengah. diantara,  pendulum kata-kata bias, masih meraja. oposisi biner,  menjadi terpaksa konon, aku bukanlah utama. begitupun,  kau dan mereka mustahil,  sanggup dicerna. sesat pikir,  mengada-ada aku,  bukanlah aku. pun kau,  bukanlah kau sekadar,  jelmaan. mengalir,  di sekitaran merasa,  menabula. kepolosan, tercoret warna ***Banyumas, 21 Maret 2021.