Jangkar atas nama "kemungkinan", selalu hinggap dalam rentang perjalanan. Manusia lah, yang notabene memiliki akses "langsung" untuk ber-kendali atas alam kemungkinan tersebut. Maka, dualitas kiri dan kanan, tidak mungkin akan menyisakan pemberhentian.
Adalah wajar, bila keraguan dan keyakinan bercokol kelindan pada tiap-tiap pra-putusan. Hal yang barangkali sama-sama ditemukan, ialah justifikasi atas apapun saja, yang menjadi kehendak itu sendiri. Memilih untuk sebegitu sumbu pendek pada pihak ekosistem sosial, hanya akan membebalkan keluasan.
Sebagai pengayaan, sesama manusia yang terlampau gampang memberi label, hanya akan mempersempit ruang tumbuh-kembang kebudayaan. Tentu, budaya yang dimaksud disini ialah kebersamaan menjalin imunitas kebijaksanaan, dalam luaran kebermanfaatan.
Sisi lain dari ini, yaitu perihal kompatibilitas ruang dan waktu, dengan kesiapan mental masing-masing dari kita. Tidaklah elok, bila standarisasi atas diri dipatenkan ketika sedang atau akan mengalami interaksi. Lagi-lagi, poinnya ada pada kompatibiltas dahulu, belum ke ranah benar atau salah.
Syahdan, alam kemungkinan yang terpampang jelas dikhatulistiwa batin manusia, selalu memunculkan kegamangan. Namun, semua hal yang telah menyusup ke liang adekuat, pasti selalu harus melewati yang gamang itu sendiri.
Barangkali, dengan menghela nafas beberapa waktu, dalam balutan keapadanyaan realitas, akan sangat membantu untuk mengecilkan resiko dipermalukan. Bagi ekosistem budaya luhur umumnya, terlebih khusus oleh batin diri kita sendiri.
***Banyumas, 30 Maret 2021.
Comments
Post a Comment