Menjalani rangka hidup yang masih serba abu-abu, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Bagi kami, menertawakan kemalangan diri sendiri, semacam rutinitas yang paling logis dan realistis untuk dilakukan.
Terlebih, untuk sebagian dari kami yang seolah tak lagi memiliki keberanian untuk berbagi cerita kepada sesama. Mungkin, terlalu banyak pertimbangan bagi kami, untuk mencoba (kembali) kecewa terhadap respon nasehat yang terlampau mulia dari lawan bicara.
Hari demi demi hari kami lalui dengan begitu kosongnya, tanpa ada progress yang kentara, untuk bias diabadikan menjadi sejenis kebanggaan dan capaian. Semua begitu melelahkan, padat merayap tanpa kegiatan.
Orang-orang terdekat, sesekali dibuat kebingungan oleh kami, yang nampak tak menikmati hidup, dan sekaligus muncul sebagai entitas kerumunan tanpa konsep dan prinsip yang kuat.
Kekhawatiran atas masa depan, dan trauma atas masa lalu, adalah dua hal yang menyelimuti hari-hari kami.
Sekalipun terus mencoba dan berusaha menikmati hari ini, kami tetap saja masih kerap kelimpungan atas kemewahan nostalgia, beserta imajinasi masa depan yang kosong. Ini sungguh benar-benar candu, yang lambat laun terlihat nyata membunuh.
Kami yang tersisih dari realitas, terpaksa mencoba mencari jalan baru untuk kembali eksis dipermukaan.
Beberapa rela menghabiskan waktunya mendengarkan petuah-petuah dari mereka yang lebih berpengalaman, beberapa lainnya merenung diatas ranjang, ada pula yang mulai mencatat impiannya kembali, sekalipun catatan itu kemudian patah dan terlupakan juga.
Keluh kesah menjadi canda, konsep bahagia tak ubahnya derai air mata, semua memadat dalam dada, sampai dengan sendirinya terbenam menjadi kata-kata yang tak sempat terucapkan, dan terdengar sampai ke telinga.
Barangkali, ini merupakan balasan dari dosa-dosa yang belum termaafkan, atau sekadar batu ujian yang pada masa berikutnya, akan menguatkan.
Syahdan, sampai pada masanya, keriuhan menjadi ketentraman, dan kenyamanan berubah kembali pada kekacauan. Sedang, kami inimenyebutnya sebagai kehampaan, yang hadir saat raga menolak jiwa, dan begitu juga sebaliknya.
Dan, kami tidak benar-benar menginginkan untuk menjadi apapun. Kami, hanya sekadar menolak untuk sia-sia, katanya.
***Banyumas, 18 November 2020.
Comments
Post a Comment