Ketidakberdayaan terkadang mampu menumbuhkan pemberdayaan, sekalipun itu tidaklah beriringan secara langsung.
Kami tersambung oleh persamaan, untuk tidak berlebihan meraup kemerdekaan. Hingga beberapa dari mereka salah menyangka, bahwa kami sekadar malas berjuang demi angka.
Beberapa kali, kami harus rela jatuh kedalam kubangan yang sama. Hingga tatapan kosong para pejalan, sekadar numpang lewat kemudian beranjak. Mereka tak lebih kejam dari pemilik kuasa yang berjanji, terkadang sampai berniat meludah diantara kelabunya nasib sendiri.
Memang teramat wajar bagi kami yang tersisih dari gagasan umum, sesekali disisihkan oleh karena label urakan. Sungguh, kemalangan begitu dekat dan lekat. Kami kosong dari inspirasi, dan begitu nir dari kesecarahan masa yang akan.
Masa terus berjalan, sedang kami terseok-seok oleh konsep harapan. Konon beginilah sunyinya nasib orang-orang. Didepannya bersorakan, dibelakang menabung tangisan. Sampai pada akhirya, kami hanya sanggup untuk pasrah terhadap kenyamanan.
Syahdan, tidak ada yang perlu disesali dari kekakalahan yang bertubi. Sekalipun, belum secepat mereka-mereka, untuk kami belajar dari itu semua. Tetapi paling minimal, kami masih bisa bangga pada prinsip, untuk tidak mengalahkan siapapun sampai kapanpun.
***Banyumas, 28 November 2020.
Comments
Post a Comment