Beberapa sandiwara, ataupun kekakuan perjalanan hidup, cukup terlalui dengan derajat gamang. Apakah semua manusia pernah mengalaminya, atau sekadar hanya beberapa saja?
Babag hidup selalu mengarah kedepan, sekalipun pelajaran mesti berangkat dari titik belakang. Namun, kosa kata "disini dan saat ini", menjadi salah satu kunci yang menghinggapi beberapa kepuasan.
Tarikan kemasalaluan dan kemasadepanan yang hinggap merusuhi perasaan, tidak ubahnya seperti penataran menghanyutkan. Manusia terperdaya oleh singgungan gejala tersebut, hingga keputusan atas kepasrahan, nyaris tipis dengan keputus-asaan.
Putaran informasi yang membabi buta dihadapan logika, nyatanya dapat menghancurkan beberapa kerangka persiapan. Hingga sebagian episode perjuangan, terpaksa beku diangan. Ini seolah kerugian pada sisi sebagian, sekaligus semacam keharusan dalam sisi sebagian lainnya.
Syahdan, manusia menuai pemilahan atas apa-apa yang mereka alami. Beberapa hinggap menjadi ilustrasi, beberapa yang lain mengendap sebagai memori.
Lagi-lagi, keterampilan menaruh hati pada fenomena dan peristiwa, acapkali memerlukan premis yang berganti. Kadangkala koheren dengan senyatanya, kerap juga inhern dengan seharusnya.
Samudera jiwa diantara samudera jiwa, bukan sekadar benar saja, tetapi itu nyata. Sedang, konklusi yang sahih, tidak selalu terwujud dari penempatan kata yang presisi an sich. Ia, lebih-lebih sebagai sarana kompleks, bagi kerumitan yang paling biasa.
Hingga pada suatu waktu, manusia secara berhantian, mengalami kelaparan oleh kesementaraan, dan mengalami kehausan oleh keselamanyaan. Ada yang gugur sebelum berperang, ada pula yang menanam benih tanpa menuai jerih.
***Banyumas, 11 November 2020.
Comments
Post a Comment