Kesediaan untuk membuka lembaran baru dalam hidup, (hampir) selalu harus melewati kegelisahan yang memuncak. Gelisah pasti dilekati oleh kesedihan, sampai dengan krisis multidimensional. Dari yang (mungkin) sederhana, sampai yang kompleks. Kegelisahan semacam pecut hukuman, yang hadirnya lebih ke hal-hal yang tidak terpredikai sebelumnya.
Ketika manusia gelisah, secara otomatis ia akan melakukan respon penolakan pada awalnya. Jika kemudian respon penolakannya tidak menuai hasil yang dikehendaki, maka manusia dengan (terpaksa) menerimanya, sebagai (mungkin) hikmah.
Banyak sekali dan hampir setiap waktu, manusia berjalan dari gelisah menuju tenang, yang kemudian berulang menemui gelisah baru, sampai menuai tenang yang baru. Semacam kubangan alam, yang bernilai abadi.
Membuka ruang baru sebagai titik tolak perjuangan, bukanlah perkara yang mudah dilakukan. Terlebih, sikap dasar manusia yang amat benci terhadap perubahan. Padahal, kepastian dihadapan, memang hanyalah perubahan. Tetapi, sekalipun semua manusia mengerti soal itu, tidak kemudian ia dengan mudah menerimanya, sebagai hal yang sewajarnya.
Syahdan, kendati gelisah merupakan pintu gerbang menuju tenang, agaknya masih saja manusia kerap melupakan sesamanya. Misalnya, soal-soal terkait kesepiannya, ketakutannya, kesenangannya, etc., yang senantiasa menghujam dalam tiap periode, bahkan detiknya, memerlukan wadah untuk membaginya.
Namun sayangnya, apresiasi atas pembukaan wadah berbagi, (terkadang) masih sekadar di respon dengan ucapan bibir "terimakasih", tanpa adanya pengikat jangka panjang, untuk kemudian digunakan demi tumbuh dan berkembang sama-sama.
Pandemic memaksa semuanya, membeku tanpa pernah terduga. Sampai pada akhirnya, masing-masing mencari celah bahagia, ditengah derita yang paling nyata.
***Banyumas, 9 November 2020.
Comments
Post a Comment