Skip to main content

Posts

Lewat Halaman Hati (25)

Hari-hari, tak berpenghuni. Menitipkan pesan, kepadaku. Lihatlah, engkau seperti mayat orang Afrika Tanpa nama, bukan siapa-siapa Dengarlah, disana ada yang lupa Tentang dirinya, atas arahnya Segeralah, menemuinya. Beranjaklah, merangkulnya ***Banyumas, 30 November 2021.

Mengalami Diri (17)

Klausul: "Apapun yang tidak sesuai, pasti tidaklah baik"; menjadi pengalaman pahit akhir-akhir ini. Dari mengenyam produktif menjadi boros, dari kasuistik potensi beralih ke impotensi, dari mendulang peluang malah terperosok bangkrut. Memang tidaklah sanggup dipungkiri, bahwa mengkonversi ide menjadi entitas kreatif merupakan jalan menggiurkan bagi seorang "pembangkang" seperti saya. Terlempar dari keramaian, menyusup ke ruang sepi tak berpenghuni. Untungnya, ditengah pergulatan putus asa masih ada semacam katarsis untuk merilis rasa, "November Rain" salah satunya. Ia bukan sekadar lagu, tetapi endapan hidup. Sejenis pendulum makna yang terdeskripsi sangat padat, minimal bagi saya. Entah bagiamana mekanismenya, hampir selalu kebetulan menjadi sahabat karib yang menyelimuti pengalaman batin seseorang. Batin yang ceria ataupun suram, sama-sama meneteskan benih jangkar untuk mengalami apapun saja kedepannya. Syahdan, mungkin bagi sebagian orang Viktor Frankl ...

Mengalami Diri (16)

Menghela nafas di tengah kegamangan, agaknya menjadi tema sentral dalam menapaki waktu akhir-akhir ini. Andaian atas "kegamangan", memberi sinyal tersendiri bagi pegangan yang beranjak tak adekuat. Mencari ulang yang adekuat itu, bukanlah hal yang ringan. Apalagi alih-alih menemukan yang dituju, kadangkala yang ditemukan justru distraksi baru. Entah kenikmatan yang sama sekali baru, atau tujuan lama yang bersemi kembali. Situasi gamang, kerap lebih membahayakan jika dibiarkan. Semacam gusar yang menggelayut diam, lambat laun meledak tak tentu tempat dan kapan. Barangkali, sesekali kita menjumpainya dalam rasa lelah tak berujung disaat istirahat sudah dirasa cukup. Juga rasa yang tak semenarik biasanya, lebih ke hambar. Pencarian tidak ringan atas yang adekuat itu, kerapkali membingungkan pertautan isi hati dan kepala. Dilema tak berujung, pun kerumitan yang terlampau kompleks. Akibatnya, komplikasi hubungan jiwa dan raga menjadi kabut penutup. Berjuang untuk keluar dari zona ...

Mengalami Diri (14)

September 2021, nyaris selesai. Memberi penanda pada produktivitas saya dalam menulis, mengalami penurunan. Beberapa alasan yang mendasarinya ialah, perubahan aktivitas. Namun, pokok penyangkalannya yakni "kepahaman diri bahwa diri ini belum sepenuhnya paham." Pada sebagain kasus, "mengetahui bahwa saya tidak tahu" itu bagus. Bahkan, ilmu tertua di dunia (baca: filsafat), mengatakan demikian. Konon Socrates, "puncak pengetahuan adalah tidak tahu". Pemahaman akan hal tersebut, begitu penting. Tetapi, agaknya penting pula untuk selalu mengalami elaborasi dan evaluasi, menyesuaikan berkembangnya diri. Mengetahui bahwa diri tidak tahu, semoga kita sudah paham akan hal itu. Bahwa sangat berbeda, namun sangat tipis dengan apa itu kealpaan pengetahuan. Mudah-mudahan semua saling mengerti, mana yang konotasi dan mana yang denotasi. Nun, pada akhirnya 'kuda-kuda' mengerti bahwa diri tidak mengerti ini, pada sisi lainnya berkemungkinan mengalami kekacauan. H...

Sebuah Ingatan Ilmuwan Tarkam

Catatan Pengantar Di umur yang sudah melintasi seperempat abad, agaknya saya merasa perlu untuk "sedikit" mengumpulkan beberapa ikhwal endapan fenomenologis yang saya punya.  Saya memberi andaian, sejatinya apa yang sejauh ini saya miliki, bukanlah sesuatu yang "layak" untuk diketahui orang lain. Sebab, rasa-rasanya tak penting-penting amat, apapun saja yang saya alami dan miliki, adalah figur berharga bagi Panjenengan semua. Ini, buku ini, tak lain hanyalah tulisan dari manusia yang kalah berkali-kali; sesosok manusia yang telah membuktikan dirinya, bahwa sandangan "sia-sia" adalah gelar prestisius dan kemewahan durjana, yang mungkin sempat ada di pagelaran sejarah.

Sejenis Pengantar

Siapa yang mengenal saya? Apakah mereka; keluarga, sahabat, teman, tetangga, bakhan pasangan. Semuanya atau yang sejenisnya, apakah benar-benar mengenal makhluk bernama saya?  Barangkali, pertanyaan diatas terkesan klise. Seolah-olah semacam lamunan lewat kemudian pergi, tak bernilai apapun, jauh dari kata bermakna. Sia-sia belaka. Syahdan, sesekali agaknya "perlu" untuk sejenak coba kita tempatkan yang terkesan klise itu, pada titik tekan sejenis perenungan.  Ya, "barangkali yang mungkin", betapa "jangan-jangan" sering dan kerap orang-orang justru "diam-diam" mempertanyakan ikhwal tersebut itu. Saat ia sendiri, pada keheningan dan keramaian yang menjelma sepi, saat ketika yang lain tertidur di dini hari. Banyumas, 18 Agustus 2021.

Mengalami Diri (13)

Pada pertengahan tahun 2021, tapal batas masa telah memasuki  pendulum menuju akhir. Manusia masih manusia, tumbuhan dan hewan pun demikian. Menjalani peran, sekaligus bergantian peran. Perubahan memang niscaya, sekalipun kita sama-sama kerap membencinya. Sebab, tak ada yang rela meninggalkan kemapanan, terlebih jika rentang perjalanannya justru merosot tak menuai kata membaik. Stagnasi dihindari, apalagi degradasi. Bagi mereka yang menganggap "dunia" tak "penting-penting amat", pasti lebih berbiasa melakoni kebobrokan. Berbeda dengan mereka, yang meletakannya pada titik "segalanya". Lagi-lagi, kita diingatkan akan "permainan makna". Dalam artian, apapun saja tak mungkin berdiri dalam ruang kosong. Senang itu makna, sedih pun demikian. Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan hampa; tak merasakan senang ataupun sedih? Secara kategoris, hampa tidaklah termasuk dalam makna, sekalipun bisa diklaim juga, bahwa itu masuk pula dalam makna.   Mau percaya y...

Catatan Untuk Dirimu

mengada, bukan kehendak tak pernah berhak memiliki, kemudian hilang awan menjadi hujan hanya gerimis, hujan barang sebentar lembab menjerembab coret saja kenangan, bilas tanpa menyisihkan busa-busa dosa anggap lah, tak pernah ada saya saya tak ada pernah ***Banyumas, 31 Juli 2021.

Mengalami Diri (12)

Jika hanya karena kesepian engkau kemudian mencari keramaian, maka sudah bisa dipastikan; apabila telah hinggap ramai di batinmu, engkau mencari yang sepi. Tak berkesudahan, siklus rutin tanpa arti; kecuali sekadar loncat kesana-sini. Juli yang menatap di akhir ini, betapa sudah kita terbebas dari kungkungan informasi; melewati batas-batas pendahulunya, acapkali justru kelewat batas sewajarnya.  Pandemi, menjadi isu sentral masyarakat kita; trending topic di jagat jiwa manusia Indonesia. Tak lebih memprihatinkan dari keragu-raguan bertindak, terlampau pelik untuk sekadar mengudar rasa; indecisivesness garis lugu. Pasti, tidaklah berlebihan jika lewat pageblug fenomenologis ini, kita semacam terjerembab pada kedengkian sosiologis; terutama pada mereka yang tak tahu rumongso, nir-simpati, apalagi level proporsi empati. Survive hanya pada pangan, tidaklah mampu menutup kebencian atas pengkhianatan terhadap filosofi "sama rasa". Rasa itu pusat, biang keladi dari pikiran; percikan...

Mengalami Diri (11)

Juli, memasuki langkah keduanya. Kita, dan saya terutama, telah melewati dan mengalami sekaligus dari Juni, didalam Juni. Adapun perihal baik dan buruk, mesti bersanding dialektis. Sama, dalam derajat dikotomis, namun berbeda secara kemauan memberi perspektif. Betapapun pedihnya realitas paceklik yang tengah sebagian besar manusia mengalami, tetap saja terkandung bagian-bagian manis. Walaupun, yang manis itu adalah menikmati resapan-resapan dari kepahitan. Memilih berdamai, sekalipun perang tak pernah usai. Konon, kepedihan hanyalah bias kognitif atas peristiwa yang belum kita kuasai. Ketika sakit dipikirkan sebagai sakit, maka sakitlah. Namun, bias tersebut tidak selalu tepat. Misalnya, jika itu terjadi pada tuna makna, mereka yang tak punya kesadaran arti; meaningless. Kembali lagi, kita terpaksa mengingat ulang atas makna-makna yang telah terlewati. Dari naik-turunnya hidup, hingga stagnasi yang kerap mensabotase nurani; hopeless. Syahdan, setengah jalan ditahun ini, pasti telah sem...

reinkarnasi

apa yang bisa aku rasa rasa yang bagaimana  mati mati mati mengada kenapa kenapa bagiamana hidup hidup hidup sebelumnya sesudahnya sejatinya ***Cilacap, 15 Juni 2021.

Mengalami Diri (10)

 Juni, telah melintas di hari ke lima. Mengajak refleksitas pikiran pada rentang jalan yang terlewati, dimana up 'n down, agaknya cukup mematangkan aksioma hidup ini. Konon, komparasi tidaklah sehat untuk meninjau prestis. Kemajuan atau kemunduran, mungkin belum sepenuhnya kita akui dengan pertumbuhan diri, melainkan ia dan mereka telah sampai mana, sedangkan saya sudah berada pada titik yang mana. Barangkali, semacam kodrat godaan duniawi yang hanya berlaku menjadi alat uji. Dahulu, katakanlah 10 tahun yang lalu, manusia menganggap dirinya berhasil, jika dan hanya ketika ia sanggup memenuhi kebutuhan primer, dalam lingkup kecil. Tetapi saat ini, tentu berbeda sama sekali, yang mana hal tersebut di reinforce oleh perluasan jangkauan penglihatan dan pendengaran akses digital. Hingga, yang mungkin sebenarnya telah cukup, sontak merasa kurang. Syahdan, ruang-ruang kepedulian untuk mengaca; membaca ulang sejarah diri, perlu sesekali di agendakan. Bukan sekadar menjadi trend mental heal...

Mengalami Diri (9)

Syahdan, wacana tentang kedirian hampir selalu menarik perhatian setiap orang. Sekalipun, lahirnya akar social science lebih belakangan lahir ketimbang hulu natural science, sejak Socrates membawanya. Namun, agaknya tumbuh kembang atas pengamatan kedirian tak lekang oleh zaman, membumi antar generasi. Banyak sekali method, untuk kemudian mendekati apa dan bagaimana kedirian ini. Mulai dari percakapan awam, hingga melibatkan refleksi yang menyeluruh dan radikal. Tetapi satu hal, garis bawah selalu hinggap pada "diri", yang tidak stagnan.  Aspek-aspek yang terus berkelindan dalam kedirian ini, tak terelakan dari tiga prinsip dasar; biologis, sosiologis, serta psikologis. Diluar tiga hal tersebut, hanya termasuk pengayaan an sich; semacam ruang kosong atas rentang jalan perjalanan diri itu sendiri. Pada akhirnya, kepahaman atas dinamika diri yang terjadi dibalik perilaku diri tersebut, menegaskan kembali bahwa kuasa atas diri seperti bagaimana yang akan menjadi persona, nyaris m...

Dalam Jalan

Selayaknya hidup, Hidup selayaknya.  Tak layak hidup, Langkah yang ber-riak; dangkal di ingat, terlampau permukan di makna Sia-sia hidup, Jikalau hidup hanya hidup Tak banyak di cerna, Hanya hidup sewajarnya di tutup Moral moral moral Bukan, Oral oral oral Hingga, Tak lagi hingga Sekalipun, Hingga pun berbatas ***Cilacap, 16 Mei 2021.

Mengalami Diri (8)

Setelah sekian lama tanpa coretan di blog pribadi, agaknya kelelahan menuangkan ide dalam eksisten aksara, menuai sedikit kelegaan. Misalnya, atas arogansi truth claim; merasa benar. Pun, oleh karena pengalaman dan pengetahuan dalam diri yang kelewat krasan tak di uji. Rentang jalan terlalui begitu saja, ada makna yang dipetik, ada pula kesia-siaan yang melulu tak berbekas. Adakalanya pula, yang bermakna dan yang sia-sia, bergandeng kelindan akrab bersamaan. Terik siang, gelap malam, sunyi sore, sejuk pagi, menjadi hidangan tak terhindari dari adi kodrati yang Maha. Kita, titipan tak sepenuhnya sadar atas yang di titipi menjadi kosong dan hampa, oleh karena bias konstruksi akal berfikir.  Lalu, bagaimana dengan ia? Mereka yang mungkin sangat sedikir tersentuh oleh wacana elitis, misalnya konsepsi "sebelum cahaya", atau semacam format "ode to my family", hingga keluasan yang memadat pada "bohemian rhapsody". Barangkali, seisi alam hendak mengisi dari ruang-...

Lewat Halaman Hati (23)

semacam terlempar dari gelanggang, sebelum bertanding  perang kebatinan namun, waktu terus berjalan. siapa yang tau, sampai kapan tak ada cerita, bagi mereka yang berbicara; pada kediaman yang paling menggelisah berpasangan hanya kerumunan, tak ada nilai dari seberang lantang, menyelundup sampai tak berjarak konon, sekadar monoton monolog monolog luka tak sembuh seketika tanpanya, akankah kita pergi kesana nirwana,  tanpa definisi kebebalan, tak abadi keterbukaan, tak selamanya ***Banyumas, 24 April 2021.

Lewat Halaman Hati (22)

pada hari sore pada jalan, tak sempat sepi selebihnya, aku titipkan semuanya aku sandar genapkan apa mau di kata kepulangan  yang bagaimana kebelakang kedepan  sama saja menghadap membelakang ujungnya sama duduk duduk renung merenung lebih ke, melamun lamun sekalipun masih resah sajak ini, pastilah menyejarah pada wajahmu pada wajahmu pada wajahmu ***Banyumas, 24 April 2021.

Selepas Kepergianmu (1)

selepas kepergianmu, semua berontak diam. kau, gubah segalanya dari makna tersembunyi, pada ruang sempit tak berpenghuni selepas kepergianmu, arti terlempar dari kata. pun, bunga memenggal ronta  dari kilas berbekas luka, ke kediaman, masa silam  penuh cita apalah arti,  dari ini. jika bukan kau, pemberi api lalu, apakah kita sempat bersepakat,  untuk melupa  kemudian, bagaimana jika puncak impian, berlalu membiru pejam, pejam, pejam mata, telinga, rasa duduk, diam, hening ***Banyumas, 22 April 2021.

Belum Genap Manusia (11)

Masih ia cari bentuk paling sempurna, dari kekacauan batin yang menganga. Ia, tak berhentinya menempuh, untuk sekadar sanggup bercengkrama dengan wajah menatap teduh. Sesekali, ia berjumpa pada angin yang meratap, menyela langkah lunglainya. Belum genap manusia, masih dikejarnya. Sekali lagi, hanya ia yang mengalami, begitu panjang rentang kepedihan. Meskipun, canda tawa hampir selalu ia jumpa, tetapi itu hanyalah sekadar romansa. Mudah hinggap, seketika lenyap. Tak ubahnya waktu, berlalu menyandarkan senyuman pilu. Mereka, bersembunyi dibalik haru, menyejarah bak samudera Hindia-Walanda. Semua penuh, rahasia-rahasia tak tersentuh. Batin yang sunyi, jiwa yang terlampau senyap, nasib perempuan Sumatera yang ia sasar sebagai pertautan spiritual sastrawi. Hinggap disanubarinya, empati ber-emansipasi. Walau, tak ada ruang untuk sekadar menyelinap, membebas-leburkan batin-batin berlumuran jeritan. Syahdan, tali-temali pancang tindakan, ia susun sebagai titipan. Sekadar, menemani jerih payah...

Aspal Berhati (2)

terlempar, terjerembab. termehek, oleh lalu-lalang nasib biarkan, ia daki lembah disana. toh, pundak batinnya perkasa di langit yang masih sama, padanya. murung memaksa, padat merayap dari Solo, sampai ke sini. masih, belum juga dimana, kemana. oleh siapa, untuk siapa ***Cilacap, 21 April 2021.