Skip to main content

Posts

sementara

Sementara, hanya hitam Kegersangan yang merajam Riuh mengitar kebisingan, tak teredam Sementara, hanya hitam Roda mata meliar, bak pengadilan masa silam Pongah, sombong menusuk lebam Sementara, hanya kelam Meluas keseluruhan isi alam Mengulik wajah penuh sia, menabrak dinding dada runyam ***Banyumas, 11 Juni 2020.

Bugenvil Disini

Padamu yang menyita separuhnya Menyangga ruang tanya Menempuh rumitnya rahasia Padamu yang menyala purnama Tak ada salah sangka merindunya Menyimpan selembar cinta di wajahnya Padamu yang merenggut nestapa Memejam rasa tak berkata Bermakna hampir seluruhnya Padamu yang berwangi bunga Merenggut halu bersanding luka Meroda mengendap mengudara Padamu cinta sesungguhnya Mengikat mimpi di surga Bugenvil disini menyaksikannya ***Banyumas, 10 Juni 2020.

Sajakala Misteria

Kita, memutus tali ikat suasana Meminjam kuasa semesta, menebus jumpa purbakala Yang, irisan alam menjadi saksinya Ini karena kau dan aku, pun seluruhnya Mencipta karsa, paling lama Sampai ketika buah bernama cinta Membersama panjang, kisah romansa Sajakala misteria  Beranjak dari, menuju ke Alam raya jadi saksinya Goresan tinta, sediakala Dan lagi kita Adalah penerima, sesudahnya Sajakala misteria  Beranjak dari, menuju ke Kita menyadur wajah sama-sama Mengayun kata, dalam batin resahnya Sampai ketika, titik menjelma bunga Merebak juang, menyeret fana ***Banyumas, 10 Juni 2020.

tersisa (kita)

(kita) kerap bertaruh ini dan itu menabur cinta, dibawah langit yang serupa mata (kita) terpejam oleh rasa bersalah oleh kenang yang melinang oleh candu yang menggebu (kita) punya hati yang sejenis tapi tidak dengan ceritanya (kita) memiliki pikiran yang sejenis tapi bukan pada kenyataan didalamnya kemudian, (kita) menaruh waktu yang menjelma  kedap suara diawalnya endap makna diakhirnya sampai seluruhnya menjadi semunya kuasa (kita) tak mampu lagi menoleh luka sebab semuanya, hanya tenang yang tersisa ***Banyumas, 10 Juni 2020.

Yang Tertunda

Betapa ruang begitu sesak menyita Dari malam berganti siang Akankah disana terdapat (kita) Aku, mencarimu sebenarnya Tepat di ujung jalan tanda tanya Menaruh harap cerita, diatas nuansa bahagia Engkau, hadir bersama luka yang sempat ada Menjadikannya titik balik, atas nama cinta semesta Memberi motif berbunga, berkait dengan capaian mimpi seluruhnya Sampai pada akhirnya, (kita) sama-sama menyerah untuk semua Menantikan datangnya berita, perihal rasa yang tertunda ***Banyumas, 10 Juni 2020.

Pada Meta

Ada yang sengkarut diantara ribuan gores jejak Dari yang nyata, sampai yang makna Kita hanya sanggup merabanya Dan nihil, memastikannya Kumpulan malam menjadi satuan Bergantinya siang, sekadar melabur perjumpaan Sedang, kita terperanga diatas seluruhnya Mata melihat yang fana Telinga mendengar yang fana Suasana kalut, terendap ke laksana Mega mendung bercerita, hujan turun tak mereda Alam batin bercengkrama, perihal gurau di dalamnya Dan wajahmu, melukis senyum pada meta  ***Banyumas, 9 Juni 2020.

terbagi

Aku terbagi ramahmu, tergulung kedalam wajahmu Ceria, menggurita diantara seluruhnya Sampai pada akhirnya, pelikmu larut menuju dada, melumpuh di kepala ***Banyumas, 8 Juni 2020.

Kembali Menemui

Aku memang pernah menjadikanmu mahkota Walaupun kemudian, aku lah orang yang terdepan menghancurkanmu Engkau pasti sangat terpuruk oleh karena, aku Engkau rela bertaruh diri, demi kelangsungan kita Maafkan aku, kasih. . . Bukan maksudku melukaimu, tetapi inilah jalan paling tepat bagi kita Karena, aku tak berdaya, bila pada akhirnya, engkau hancur lebih sesak dari ini Pergilah... Dan, peluk ia Rangkulah jiwanya, bahagiakan paginya Sebab, Dirinya lah yang sahih tulus mencintaimu Dirinya lah, yang mutlak rela membersamaimu Bukan aku, yang jelas-jelas sadar meninggalkanmu ***Banyumas, 7 Juni 2020.

Arah Rasa

Ada arah yang tak mungkin terkejar Ada pula, ruang yang tak dapat melebar Semuanya, berkabung dalam satu peristiwa Saat ini, engkau mungkin tengah beradu logika Misalnya, perihal siapa dan dimana... Siapa sosoknya, dan dimana singgahnya Barangkali, sangatlah mudah hati dan kepala, menampung itu semua Pun, pada langkah kaki, yang terus berjalan, walau letih Tetapi sadarkah, bila seluruhnya, terus meroda makna Kita, yang tengah kesulitan meramu apa adanya, terpaksa bisu soal rasa Semuanya, mengendap riuh di dada ***Purwokerto, 6 Juni 2020.

Tanpa Pernah Bertanya

Pada adinda, nun jauh disana Kata orang, jarak bukanlah penghalang Katanya, ia hanya soal rasa yang berbalut suasana Angin disana, Angin disini, Nyata berbeda Engkau mungkin saja tak merasa  Bahwa disini, aku bergetar begitu hebatnya Merindukanmu, menantikan warna wajahmu Adinda, aku ingin sekali meruyumu Meminjam tanganmu, untukku genggam didadaku Dibawah malam yang bertema dirimu, ijinkan aku mengenang kita Mengenang semua jalan yang amat lugu, saat hujan membasuh rambutmu Disana, kita sempat beradu cemburu Mengeja rasaku dan rasamu Sampai pada akhirnya, semua memisah temu  Dan engkau, memilihnya tanpa pernah bertanya padaku ***Banyumas, 4 Juni 2020.

Pentingnya Tujuan

Rentang jalan, selalu mengikat sejarahnya. Kita barangkali amat yakin dengan pilihan ini, atau itu. Tetapi, waktulah yang akan merajai buktinya. Kehidupan memang kerap membingungkan. Pun, selalu penuh dengan kejelasan. Dualitas yang pasti adanya dalam hidup itu, terbungkus dalam dinamika sedih dan bahagia. Cara hidup yang benar, hanyalah cara yang mampu mengantarkan ke tujuan.  Dari hal sederhana ini, kita diingatkan kembali, betapa fatalnya hidup, apabila memegang tujuan yang keliru. ***Banyumas, 4 Juni 2020.

Menyita Rasa Seluruhnya

Sungguh, jiwa tergetar olehnya Oleh wajah, yang menyita rasa seluruhnya Aku mengerti, ini hanya terjadi pada diri ini Berbeda disana, denganmu Yang mungkin, masih haus akan panorama  Disini, bukan maksudku mengganggumu Hanya saja, angin malam dihadapku , berhembus rutin menyebutmu Ia menyebut namamu, merangkul peluhmu Bagimu, ini mungkin hanya dalih yang menyerpih Mungkin juga, sekadar rayu kelabu nan sembilu Namun, asalkan engkau tahu Betapa sulit bagiku, tergerak hati untuk sampai memilihmu Kini,  Bila wajahku sudah tak lagi menjadi titik perhatianmu, tak apalah Setidaknya, aku telah menjadi bagian terpenting demi menggapai impianmu Meski perih, tak lekang menyayat jiwaku ***Banyumas, 3 Juni 2020.

Titik Henti Disana

Biarlah, semua mengalun semestinya Curiga dan kecewa, pada saatnya membuatmu berbiasa Tetapi, selalu ada hal yang luput dari tanya Misalnya, apakah mungkin taqdir berbohong untuk menyita? Kita, na'asnya tergenggam kaca yang sama Perihal sesak, yang mengabur abu derita Itu bukan kesalahan Buka pula, soal ketepatan Karena titik henti disana, tak dapat berubah asalnya ***Banyumas, 2 Juni 2020.

Senantiasa Bertajuk

Selalu ada "selat", ditengah luka yang menyayat Musim terus berubah Sedang suasana, mengitari arahnya Kita pasti kerap kewalahan menghadapi itu, sampai-sampai tersungkur jatuh ke lembah nadir Tetapi, seperti padanan "selat" Ia menuai setidaknya dua tepian Melabuh ke kiri, atau ke kanan Tentu masing-masing kita telah paham, utamanya pada kiri dan kanan yang mewujud konotatif Entah kanan atau kiri, keduanya suci azali Sampai pada kebimbangan paling gusar, kita semua berbatin lirih Bahwa dunia, tak lebih sebagai pena cerita yang senantiasa bertajuk Sebuah cerita, tentang warisan, kepercayaan, dan pengingkaran ***Banyumas, 2 Juni 2020.

Hingga "Saat"

Sampai menjadi puisi, lintasmu mengendap arti Apa gerangan semua ini? Hingga "saat", belum menggubah misteri Sampai menjadi sajak, arahmu menyala rasa Apa gerangan semua ini? Hingga wajah, berlalu sepi Sampai terlelap mimpi, yakinku mengalun senyap Apa gerangan semua ini? Hingga menanti, tak ubahnya bunuh diri ***Banyumas, 2 Juni 2020.

Sisa Satu Alasan

Selalu ada pijar makna, ditengah kegersangan nurani kita Apalagi, saat semuanya kembali bercerita sejarahnya Terlebih, jika satu persatu dari hembus nafas, tereja dengan seksama Aku mungkin bukan menjadi bagian terpenting dalam hidupmu Namun, engkau mestinya yakin Bahwa suatu saat, akan engkau temui bahagia tak bersyarat Dan, Engkau barangkali tidak menjadikanku sebagai sudut mencolokmu Tetapi, engkau mestinya sadar Bahwa kemanapun titik yang engkau tuju, itu hanyalah pelabuhanmu sesaat Sebab, tempat paling prasasti bagimu, adalah ruang kita Sebuah ruang, yang selalu menyisakan satu alasan, demi bertahan ***Banyumas, 1 Juni 2020.

Tanda Mula

Nafasku lunglai,  tersekap hempas Ragaku pilu, memuai di jemari Mataku lekat, tepat di tengah tiap- tiap hela Aku, paling tak mengerti soal ini Tentang kata, berwarna mega Adakah, yang lebih beraroma selain wajahmu? Dimana ia bersemi, pada jarak kulminasi Kau, barangkali bukan segalanya Mungkin saja, bukanlah pelangi di langit Maha Tapi kau, Adalah tanda Saat hening,  menyerta mula-mula ***Banyumas, 28 Mei 2020.

Aqad Romansa

Suatu saat nanti, sampailah nafas pada batasnya Tentang sisi hidup yang prasasti, perihal kita bertekad saling Pada masanya akan, usailah semu menjadi temu Perihal cari berkutat sunyi, tentang jabat berlafal janji Sampai waktunya kita, menatap barunya lensa Adalah aku dan kau, menempuh jarak paling merona, terpeluk larut romansa, sedihnya bahagia ***Banyumas, 28 Mei 2020.

Menempuh Sepinya

Kemana lagi, arah mata akan tertuju Bila yang sempat menjadi, tak ubah mengarti Kemana perginya makna Pabila warnanya, membunuh seluruhnya Aku mencarimu, juwita Tepat diantara, perihnya Tepat diantara, sunyinya Menyisir diantara sepinya Dan, Dirimu, mungkin tak ubahnya Pelangi di ujung nestapa Tempatku, menyusur prasangka Juangku, menempuh sepinya ***Banyumas, 27 Mei 2020.

Di Bawah Gerimis Yang Berbeda

Menetes peluh, dari sana Terkucur pasti, menyibak sisi Konon, ia hadir menjadi telinga dan matanya singgasana Engkau menutup dirinya Pun, membukanya sebagai kabut suasana Keluasan mega menjadi bernyawa Ketika gelap menyusur hadirnya Namun, satu hal yang luput tersisa Adalah kita, memilih senyap sementara ***Banyumas, 27 Mei 2020.