Skip to main content

Posts

ber-Laku Dasein

Saat manusia tengah menjalin interaksi dengan manusia lainnya, entah dalam perkara makro ataupun mikro, mesti selalu ada ketidaklengkapan penangkapan maksud dari apa yang di interaksikannya. Kita sama-sama pernah mengalami, bahwa ketidaklengkapan benar terjadi, ketika terdapat pengulangan kalimat, ataupun bahasa tubuh. Interaksi manusia dengan manusia lainnya, memang ber-relasi erat dengan pengalaman dari pelaku interaksi itu sendiri. keber-relasian tersebut, memungkinkan terjadinya kelengkapan konten interkasi, yang kemudian mampu menghadirkan kemungkinan kecil dari disharmoni.

Ilmuwan Remang-Remang

Semua tradisi keilmuan dalam wilayah akademis maupun non akademis, memiliki sisi-sisi yang berjenjang. Hematnya, dimulai dari segala jenis "apa", beranjak ke beragam tema "mengapa", sampai pada derajat macam-macam "bagaimana". Titik puncak kepuasan keilmuan seseorang, secara mayor berada dalam posisi kebergunaannya. Posisi kebergunaan tersebut, bisa yang berpihak pada "enak" mutual, atau sekadar enak "individual".

Sebat Metafisika Cinta

Nama Arthur Schopenhauer; mungkin dikalangan ketimuran, masih asing terdengar, ketimbang nama-nama seperti Plato, Aristoteles maupun Al-Ghozali, dan seterusnya. Namun, cukup menarik jika kita mencoba melihat bagaimana dia mengeluarkan gagasannya berupa "metafisika cinta". Schopenhauer, memberi eksplain berkisar antara tunduknya (subordinasi) suami pada istri, orang tua pada anak, individu pada spesies. 

Sebelum Yang Rigoris

  Seiring dengan “tidak” membaiknya kondisi pandemic per-2020 akhir-akhir ini, membuat pelbagai lapisan kebudayaan berekspresi sebegitu ragamnya.  Lingkup komunal yang bervariasi pada penekanan berhadap-hadapan eksistensial secara langsung, kini ber-sentra haluan menjadi serba virtual. Tentu, implikasi dari hal tersebut, memuat sisi-sisi kenormalan yang kongkret, tercerabut.   Keluasan dan keleluasaan pada interaksi “tak langsung”, pada satu sisi bersifat melenyapkan muatan komplementer behavior . Mimik dan intonasi, sebagai pilar dari konteks, semacam kehilangan genuine-nya.  Semua jenis interaksi, (pada titik tertentu sebagian), menjadi serba menyempit. Hal itu, menjadi penanda berkelanjutan, bagi perkembangan bias kognisi.  

Lokasi Transenden

Pada era krisis yang tengah manusia alami akhir-akhir ini, terdapat keterkejutan sikap sekaligus perilaku, yang sejatinya sama sekali baru. Sikap sebagai modalitas berperilaku pada manusia, bersifat reaktif terhadap perubahan “cuaca” zaman. 

Tapi Kita

Aku buatkan sajak untuk adinda, diantara kosong yang paling mengada  Aku sisipkan sajak untuk adinda, ditengah gelisah yang melabuh sedia Vi, Yang pahit bukanlah kopi, tapi kita Yang memilih berjarak,  padahal dekat Yang memihak bisu, padahal bersorak ***Banyumas, 21 Agustus 2020.

Repihan Nama

Mi, kemarin sempat muncul jeda di Surakarta Kami menatapnya, ia hening Lalu,  gambarmu larut di selanya Dengan jelas kami melihatnya, ia diam Dan, sabdamu nyaring di dada kepala Kami ringkas memeluknya, ia gusar Harapku, sampaikan saja apa adanya Bila perlu, sama sama kita lunasi nestapa Mi, Sampai malam disini, belum ada refil kalimat kata, semua lebur digulung ombak selatan sana ***Kebumen, 16 Agustus 2020.

Karma Lanjutan (2)

 Ada yang berbeda,  dari ragamnya wajah berlalu Titik sutra beralun sayup, mengandai disekitaran sisi Tak mampu kutahan rasa swarga, melintas begitu saja Panorama menggelisah warna Asam manis menyatu, mengada yang tak biasanya Sulit menggusar telinga Tumbuh harap memalsu, tertahan api jiwa  Angin tak lagi angin, dik Sunyinya, tak lagi kudengar Sunyinya, tak lagi kujamah Mampuku sekadar menjilati wangimu Sedang, alam membabi buta menyebutmu Merangkai biasa menjadi hitam hitam petikan nada Seloroh di dada, mengantar pergi menuju pulangnya Akar janji, hadir menguji ***Solo, 14 Agustus 2020.

Karma Lanjutan

Ranjau paku ditanam dalam berbagai sifatnya Menginjak salah, tak menginjak pun keliru Terinfeksi asing, terinfeksi pun normal Roda tidak lagi berputar, ia menggelinding melindas yang terlewatinya Bukan hanya memadat di sekitaran, dirinya menjadi bagian Wajar disana, sekaligus tabu disana Riuh disini, sunyi sekalian disini Alam membunuh yang diam, alam membunuh yang bergerak Jagat menebas yang keliru, jagat memenggal yang benar Duduk bersanding koheren, duduk bersanding paradoks Sesekali, terlentang memandang bintang Sesekali, terlentang menatap hujan Berdukalah ia, merasakannya memikirkannya menjalaninya Berbahagialah ia, merasakannya memikirkannya menjalaninya Kita ingat untuk dilupakan Kita lupa untuk diingatkan Disini, badai tak lagi badai pelangi bukan lagi pelangi Disana, pun sama Yang, ini  Yang, itu Yang,  mana ***Solo, 12 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (8)

Hampir selalu ada kerangka pekat, yang tak mampu di cerna oleh nalar. Sejenis puzzle, namun tak berwajah runtut. Mirip dengan silogisme, tetapi absen dari konklusi.  Beberapa manusia, kami yakin sempat menjadikan hal tersebut titik tekan permenungannya. Adalah mengenai pertanyaan yang dimunculkannya, disusul dengan jawaban yang disertakannya.  Sekalipun pertanyaan itu tidaklah hidup sebagai anima, tetapi ia tidaklah mati sebagai anima pula. Pertanyaan hidup sebagai karpet merah manusia, menjembatani apa saja yang menurutnya mampu memberi pengantar menuju jawabannya. Sesekali, pertanyaan sekadar bertahan dalam kutat struktur kepala penggunanya. Dari sekian banyak hologram alam yang berkelindan di jagat ini, mesti kami temui pelbagai bentuk dan sifat yang mencolok jiwa. Kepala-kepala berisi gelisah, yang lain dari pada yang lain. Guratan-guratan wajah yang sama sekali berbeda, dari satu dengan tatap ke pandang berikutnya. Sementara kami terkecoh akan fatamorgana alam, mereka-mer...

Melawan Persinggahan

Ruang tamu kita,  kerdil  ditumbuhi jamur dari barat, sesekali seekor nyamuk mengintipnya Tuan dan puan, tak lagi tertarik berduyun simpul mereka terjun bebas di alam sutra, berkelahi melawan persinggahan Nasib berarah ujung tanduk, semacam puncak nir dari kata jelas Perahu hanya ia tatapi, sembari mengingat-ingat bahwa ruang tamu disana ditertawai tokek dan cicak  Ia miskin dan termiskinkan Ia bodoh terbodohkan Ia kalah terkalahkan ***Solo, 8 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (7)

Sebagai bagian manusia yang mencintai keseimbangan, kami terkadang harus memaksakan diri untuk mengikuti perkembangan wacana, salah satunya mengenai pembahasan gender. Bila di akumulasikan, ternyata kami lebih sering mempelajarinya dari sudut pandang empiris, bahasa lainnya terjun langsung. Lebih sedikit belajar langsung dari literatur macam jurnal. Titik tekan pada wacana gender, bertolak dari pencariannya terhadap "peran" pria dan wanita. Walau dari kesejarahannya wanita kerap menjadi "korban", akan tetapi sejatinya tidaklah demikian. Argumennya sederhana, ialah tentang dominasi pria atas kesempatan lebih untuk bergerak "diluar". Meski jauh dari kata valid, kami tidak gegabah untuk main truth claim. Toh, pendidikan kami tidak memberdayakan sepenuhnya, kecuali pada sisi-sisi tertentu saja. Kami dibiasakan mandiri mencari, disalahkan saat keliru, dicampakkan ketika berbeda pemahaman. Seperti pada umumnya yang terjadi pada organisme sosial terkecil macam ke...

Manusia Manusia Semacammu 6)

Sebagai manusia yang kerap memalingkan pembicaraan, mereka tidak serta merta kurang kompatibel dalam memahami konten soal. Asumsi yang paling general biasanya meliputi dua hal. Pertama, terkait kepentingan dan kepedulian. Sedang kedua, berkelindan antara relevansi dan jam terbang.  Dua asumsi tersebut, cukup untuk menambal rasa penarasan umum. Sekalipun, dalam hal-hal tertentu, kerap menghancurkan kemewahan kolektif-kolegial kemesraan bercakap-cakap. Sekarang, misalnya kita taruh "keperluan ekonomi" dalam soal palingan pembicaraan. Pada dasarnya, keperluan ekonomi senantiasa memuat sisi yang paling privat bagi individu, sekaligus menjadi rahasia umum untuk membuat jokes tongkrongan.  Kalau soal penentuan kebijakan yang lebih masif, ketertujuan pertanyaannya, untuk saat tentu bukan kepada kalangan kami. Alih-alih membereskan pelbagai lilitan hutang, mereka justru malah  menumpuk-tunda tugas utamanya. Sibuk mencari suaka, sembari mempersiapkan korban selanjutnya. Syukur, se...

Kepada Hati Permata (3)

Ini sangat sederhana, Ni Bukan suatu hal yang perlu engkau khawatirkan Bukan sebuah hal yang harus engkau risaukan Ni, ini soal ku Soal yang sampai detik ini belum terjawab Perihal yang sampai hari ini belum tersingkap Ni, jendela kamarmu tak pernah melarang untukmu menengok Tak lekang untukmu mengais tawa kembali Ni, ini teramat sederhana Sesederhana engkau berjalan Sesederhana matamu memejam _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _  Ni, hati permata itu milik engkau Alam raya memberimu itu, sebagai anak tangga mengalami kepulangan ***Solo, 4 Agustus 2020.

Kepada Hati Permata (2)

Matahari 12, nampak terlampu sirat Membisu membidang, memaling di sebagian ruang Sih, untuk sampai pada simpul, sementara nun jauh  Walau mendung, tidak selalu badai Angka 44, berawal di 18 Kerumun meriuh, kerumun merendah Dik, 8 di 20 Berdenyut rumah yang paling rumah Selaksa tengah menempuh palingan bahasa  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Ni, dunia tidak benar benar memutar Ia sekadar terkatung katung logika, terkungkung di batok kepala ***Solo, 3 Agustus, 2020.