Tumbuh bersama tidaklah mudah, terlebih apabila dua atau lebih pihak, tidak pernah menjalin komunikasi yang efektif.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa apapun saja, jika diberikan embel-embel “bersama”, maka akan terjadi kelambatan, dan ini merupakan hal yang tidak disukai oleh manusia, genetik evolusinya begitu, setiap orang mengidamkan kecepatan, sama sekali membenci kelambatan.
Memilih untuk jatuh pada pilihan bersama, memang selalu membutuhkan keberanian, yang kemudian memerlukan niat yang kuat, agar pilihan atas bersama ini, tidak mudah goyah. Ketika telah terpilih niat yang kuat, kita pun harus menjaga semangat dalam menjalankannya.
Sebab, pasti terdapat godaan yang datang sebagai ujian sebagai pemantik dalam rangka menceraikan komitmen bersama ini. Godaan tersebut, bisa jadi sebenarnya lebih kepada keengganan menghadapi kelambatan itu sendiri. Pada akhirnya, semacam pemaksaan standar antar dua pihak atau lebih.
Lalu kemudian, adakah yang lebih baik dari sekedar menciptakan komitmen atas pelaksanaan aturan yang dibuat dan disepakati?
Jawabannya, tentu bisa jadi iya bisa jadi tidak. Namun, yang lebih penting ternyata, adalah bukan aturan apa yang dibuat dan sepakati, akan tetapi tentang bagaimana aturan itu dibuat, dan bagaimana aturan tersebut disepakati.
Syahdan, salah satu cara terpenting dalam menyusun sebuah aturan yang baik, adalah memperhatikan dan menempatkan ruang dialog, sampai pada kata “selesai” dan “bersih”. Seringkali, bias terjadi oleh karena ada dominasi, dalam konteks apa saja.
Maka, membereskan sesuatu yang telah dimulai, memang sebuah keberanian tersendiri. Karena ini berkaitan erat dengan keberanian, maka hal tersebut perlu dilatih, salah satunya dengan sadar, bahwa posisi kita bukanlah Tuhan yang bisa semau-maunya.
Disinilah, keberanian menjalani menjadi modalitas penting, seperti Husserlian; keapadanyaan menerima realitas adalah kunci, bahwa kompleksitas masalah merupakan sahabat akrab spesies bernama manusia.
***Banyumas, 2 Februari 2021.
Comments
Post a Comment