Bulan pun berganti, beberapa babagan hidup mengalami perkembangan. Ada yang berkembang memburuk, terdapat pula perkembangan membaik, pun didalamnya masih ada yang "krasan" mengalami pengulangan.
Sebagai pelaku dari masing-masing episodenya, manusia kadangkala memilih mengelak dari apapun saja yang menjadi senyatanya. Barangkali, alamiahnya, kalau-kalau mengakui seapadanya yang nyata, kerapkali menyiksa batin pelakunya itu sendiri.
Konsep atas "naik-turun", suasana hati memang sangat mudah untuk diterima sebagai konsep an sich. Namun, harus diakui bersama, bahwa mengalaminya secara "tak berjarak", merupakan wujud pergandengan antara penderitaan, sekaligus kenikmatan tersendiri, yang benar-benar teramat privat dan sunyi.
Pancang jalan atas titik-titik pengalaman, menjadi salah satu kajian menarik bagi para pegiat fenomenologis. Hingga, betapa berharganya arsip-arsip berbentuk ingatan itu, dimediakan keranah metodologis. Sebab, premisnya sederhana; yang membaca dan menuliskannya adalah pelaku tak berjarak itu.
Syahdan, argumentasi atas ketidakberhargaan sejarah pada diri tiap-tiap manusia, sangat mudah untuk dibantah. Rumi pun membumbuinya, bahwa manusia bukanlah tetesan ditengah samudera, melainkan ia merupakan samudera dalam bentuk tetesan.
Maka, kebenaran atas pernyataan bahwa; keadaan apapun saja, sejatinya sangat layak untuk dibagikan. Sekalipun dalam praksisnya, filter dan limitasinya memiliki keragaman yang barangkali terkesan klise.
Disinilah, watak alam memberikan bimbingan halus, dan kadangkala kejam. Bahwa misalnya, sekalipun manusia memiliki free will, ia tak akan mampu keluar dari game plan semesta, paling maksimal hanya "ubed-ubed" didalamnya.
***Banyumas, 1 Maret 2021.
Comments
Post a Comment