Skip to main content

Mengalami Diri (2)

Untuk sampai pada titik sadar dalam menjalani hidup, nyatanya bukanlah hal yang mudah. Manusia diterpa oleh keadaan yang ragam tekanannya, kemudian rela menerpa dirinya sendiri, demi pertumbuhan batin beserta lahiriyahnya.


Ketika manusia sadar atas hidupnya, pelan-pelan ia akan secara alamiah untuk sadar pula akan apa yang dimaksud dengan kesungguhan hidup. Misalnya, dari mana ia ada dan akan kemana ia ada. 


Apakah tentang perjanjian eksistensial dengan Tuhannya, apakah perihal berbalas budi kepada ibu-bapaknya, apakah tentang bagaimana menjalin relasi dengan teman sebaya, tentang menemukan kekasih idamannya, atau sekedar menjaga alam nabati dan tata krama dengan hewan, pun pada makhluk ghoib seperti jin dan malaikat?


Agaknya, segala jenis yang manusia ketahui, tidak kemudian mereka benar-benar pahami. Bahkan, untuk sampai pada level "bahwa ia paham atas apa yang tak ia pahami", padahal ia sebagai dirinya sendiri, tengah mengalami.


Syahdan, barangkali kiat arif menghadapi diri adalah dengan selalu mengupayakan menaruh "koma" dalam tiap-tiap konklusi, merupakan hal yang pasti, supaya segalanya bisa berjalan dengan penuh substansi.


Hal tersebut, bukan karena benar atau salah, tidak sebab yakin atau ragu, atau apapun saja yang terkait dengan oposisi biner, absurditas, serta hal-hal yang paradoksal. Hal ini lebih dari itu; ini tentang tumbuh-kembang lintasan pengalaman dan pemahaman untuk menuai presisi, ditengah hidup yang terus mengalami lika-liku jalannya.


Hingga, apapun saja, mesti mendapat keadilan reflektif. Dari memahami apa yang dialami, mengalami apa yang dipahami, mempertanyakan pertanyaan, bertanya atas kenyataan, serta memunculkan tanda tanya kepada pernyataan, etc., maka radikalitas dan universalitas menjadi perlu.


Yang pada akhir kesementaraan, bukanlah memungkinkan bertahannya apa dan siapa yang benar dan salah, tetapi tentang siapa kepada siapa, siapa kepada apa, untuk mempertahankan "hubungan darah" dengan perjalanan "terus mencari". 


Tentu, ditengah turbulensi gejolak hati dan akal, tidak kemudian ia tanpa berbuat apapun. Pelan-pelan, ia pun memberanikan diri, memulai kebermaknaan, sembari berlatih mengudar arti bagi sekitar dan dirinya sendiri, untuk mengalami diri.


Lagi-lagi, disini manusia memerlukan upaya pelan-pelan untuk jujur, bukan hanya kepada pihak diluar dirinya, tetapi jujur pula terhadap apa yang ada didalam dirinya. 


Barangkali, menerima dan menyadari seapadanya, apapun saja yang tengah ia alami, dari hal yang tersentuh indera, hinga yang hanya dapat di cerna oleh rasio dan rasa, merupakan tahap fundamental untuk menempuh apapun yang ada dan apapun yang mungkin ada.



***Banyumas, 27 Februari 2021.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-