Masalah yang bertubi, kegagalan yang terulangi, semacam menjadi tema kelam bagi beberapa orang. Namun, harus kemudian sadar pula, bahwa kesenangan dan keberhasilan pun berjalan demikian.
Semestinya, kita harus jujur mengakui, bahwa antara penderitaan dan kesenangan, adalah dua hal yang sejatinya eksis dan melekat dalam keseharian. Menerima seapadanya, merupakan konklusi paling presisi, untuk kemudian mulai pelan-pelan menghadapi.
Sebagai seseorang yang cukup merasa beruntung, oleh sebab sering menjumpai keragaman pengalaman orang sekitar, yang memiliki kedalaman cerita naik-turunnya hidup, membuat jiwa terbiasa sanggup menemui wujud batin terdalamnya. Hingga, keputus-asaan dan prestasi menjadi sohib akrab.
Nun, apapun, kapanpun, dan sampai sejauh alam kemungkinan, kita tak akan mampu menafikan wadag bernama gagal dan berhasil. Sebab, keduanya bukanlah dikotomi, namun terbentang menjadi luasan spektrum.
Dari sinilah, beberapa tahap kesadaran mengayun prosesnya; mulai menerima, paham, membumbui perspektif, yang kemudian sampai pada starting point menghadapi. Tentu, detailing atas ini, memacu bentuk konversi dan elaborasi.
Syahdan, seorang eksistensialis pun pernah bersuara, Ja Sagen!; terimalah apa adanya, siklus hidup memang begini dan begitu adanya, singkirkanlah perasaan ingin dikasihani oleh siapapun, dengan ini kita akan jauh lebih bermakna, tutur Nietzche.
Dengan bekal pengalaman atas kepedihan dan kesenangan seseorang, ternyata cukup mampu untuk kita lebih resilience, dalam menghadapi dunia yang serba dinamis dan unpredictable ini.
***Banyumas, 5 Februari 2021.
Comments
Post a Comment