Pada saat-saat dimana kejujuran menjadi barang mahal, kadangkala kita terpaksa berkompromi dengan kobohongan. Korupsi terus menerus ada, penipuan berkedok hadiah pun masih kerap sama-sama kita jumpai, etc.
Mungkin, tidak banyak kebohongan yang kita lakukan terhadap orang lain, pun tidak pula menjamur kebohongan yang dilakukan orang lain terhadap kita. Akan tetapi sadarkah, bahwa sangat mungkin kebohongan itu justru lebih banyak kita suguhkan kepada diri sendiri?
Berusaha untuk bertindak jujur, terutama kepada diri sendiri, bukanlah perkara yang sederhana. Acapkali, kita tersiksa oleh karena itu semua. Bahkan, rela melakukannya sekedar demi mengamankan yang tak semestinya diamankan.
Melakukan satu kebohongan, akan diikuti oleh kebohongan berikutnya. Begitu juga sebaliknya; bertindak jujur pasti akan menuai kejujuran berikutnya. Begitulah, prinsip kausalitas yang berlaku. Meskipun lagi-lagi, butuh pembiasaan untuk merealisasikannya.
Syahdan, jalan terjal menemui diri, tidak selamanya sederhana dikatakan. Terlebih, menemui diri yang jujur atas apa saja yang menjadi fakta. Misalnya, jujur mengakui keterbatasan diri, kesalahan masa lalu, ketidakdewasaan bersikap, etc.
Meskipun tidak mudah, dan pastinya merasakan cabikan perasaan, tetapi bukankah kita sama-sama mengerti, bahwa berkata dan bertindak jujur adalah hal yang mampu menyelamatkan? Terhadap apapun saja, terlebih kepada diri kita sendiri.
Barangkali, kejujuran dalam beberapa kesempatan dibayar dengan kekecewaan, kepercayaan dibalas dengan pengkhianatan, dan kepedulian dihargai dengan pembiaran. Namun, begitulah hidup "lunyu-lunyu penekno", tutur Sunan Ampel.
Wajar, jika kemudian kita khawatir atas gagal. Sebab, selama ini kita lebih sering diajari untuk berhasil an sich, dan melupakan bagaimana belajar untuk menerima dengan apa adanya, bahwa gagal merupakan kewajaran yang siapapun saja pernah mengalami.
Namun sungguh, kita sama-sama mengerti, kalau-kalau kita berada pada posisi baik, maka dengan sendirinya vibrasi yang muncul bukanlah perihal disonansi. Sekalipun, kondisi bifurkasi; mengkhwatirkan kegagalan dan larut dalam perayaan keberhasilan, kerap membuat gamang.
Temuilah diri, terimalah ia secara utuh, berhasilnya, gagalnya, apa adanya. Berlakulah lembut atasnya, maafkan kita yang kerap memarahinya. Tenang, hadapi, tenang terima, tenang hadapi, tenang terima.
***Banyumas, 16 Februari 2021.
Comments
Post a Comment