Skip to main content

Posts

Kesana Kesana

Kita juga ingin seperti kita. Kita juga punya harap yang sama. Seharusnya kalian menggandeng. Bukan membiar acuh. Mereka ini bagaimana? Sudah tahu ini, malah begitu. Sudah mengerti itu, malah begini. Barangkali, yang ada dalam benakmu, hanyalah pisah. Kita kesana, dan kalian kesana. ***Banyumas, 1 April 2020.

Kosong Song

Semua tak sepadan. Lingkar jalan tak berarti makna. Mereka pasti tak mengerti soal ini. Berlebih, jika harus menagih. Beralih, bila harus menyisih. Persetan semua! ***Banyumas, 1 April 2020.

Corona, Bisa Apa?

Keadaan dunia terus berubah, dan Corona, adalah salah satu momok mengerikan bagi manusia seluruhnya. Bencana tak pernah dirindukam siapapun. Orang bijak mengatakan, "lebih baik memperhatikan kekuatan diri, dari pada kelemahan diri, kemudian berhenti untuk menyalahkan keadaan".  Memang berat dan sulit untuk menerima kondisi yang sama sekali tidak mengenakan ini, tetapi akan bagaimana lagi, jika here and now nya sudah begini.  Disaat-saat krisis semacam ini, barangkali yang bisa dilakukan ialah, mencari kembali yang dahulu mungkin sempat hilang, atau menguatkan kembali, apa-apa yang pernah luruh. Dan, bertahanlah. Tuhan berfirman, "bersama kesulitan ada kemudahan". Dari firman itu, nampak jelas, bahwa "Bersama" menjadi garis merahnya, bukan "sesudah". Artinya, ada dorongan bagi pembacanya, untuk mencari titik hikmahya. Pertanyaan "Corona, Bisa Apa?" barangkali bisa dimunculkan pada saat-saat sulit seperti ini. Orang-o...

Kesaksian Seorang Pecundang

Kini, aku hanya bisa menatap diriku sendiri, sebagai orang yang tak berarti. Diriku hanya bisa melihat, bahwa disekeliling, terdapat banyak tawa dari mereka yang menang. Yang sanggup aku gapai, adalah kekosongan batin. Yang mampu diriku tatap, ialah ketidakmampuan jiwa dan raga. Apalah arti dari perjalanan yang seperti ini. Apalah arti pagi, bila yang dapat aku nikmati, hanyalah sepi. Apalah arti malam, jika yang sanggup aku terima, hanyalah kesendirian yang mencekam. Bagaimana aku bisa mencari ketenangan, bila yang selalu ada, adalah kesesakan dada. Apalah jadinya, jika semuanya, nyaris tak sesuai rencana. Diriku hancur! Diriku kalah! Diriku pecundang! ***Purwokerto, 30 Maret 2020.

Aku Menyerah Padamu

Sayangku... Jalan panjang romansa, telah memadat jiwaku. Atas nama asmara, melambungkanku jauh ke angan semesta. Atas nama asmara, mencabik robek relungku. Sayangku... Sebenarnya, berat hati untukku sampaikan ini. Sebab, teramat liar dan serakah, aku menghantam batin tulusmu. Sungguh, begitu kuat alasanmu untuk membenciku. Ada begitu banyak logika dan rasa, tentang bagaimana engkau menjauhiku. Namun sayangku... Engkau seolah tak pernah merasakan itu. Engkau semacam tak pernah memikirkan itu. Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita, terutama dirimu. Padahal teramat kejam, aku membuatmu terluka. Yang itu, bukan hanya sekali, tapi bertubi-tubi. Sayangku... Kini yang tersisa, adalah kalimat dari jantung terdalam jiwaku. Aku dan nafasku, berkilas menyebut namamu. Bahwa, aku menyerah padamu. Aku, kalah. ***Purwokerto, 28 Maret 2020.

Dari Balik Jendela

Dari balik jendela kaca, sesekali kita menengok ke arah lupa. Terkadang, lamun berjalan tak terasa begitu saja. Sesekali, gerimis menyerta gelisah tak bernama. Ruang dan waktu terus berubah. Ingatan beralih menuju sejarah. Semua memang bisa lekas, namun tidak selamanya pulas menggores bilas. Kita, agaknya bukanlah satu-satunya bagian dari penentu. Acapkali, justru terlempar di pusaran tipisnya jurang antara. Tetapi, kita terpaksa harus percaya. Bahwa sejuknya penerimaan, akan selalu ada. Terkhusus, untuk harap yang kerapkali harus melewati luka. ***Purwokerto, 27 Maret 2020.

Titik Tunggu Romansa

Sejatinya, jarak bukanlah satu jurang yang mengerikan. Ia, hanyalah sekadar titik tunggu, atas nama perjumpaan. Tetapi, apakah adinda mengerti? Misalnya, perihal pasti yang sama-sama kita abdi. Atau, terkait ruang dan waktu, yang mungkin melelahkan untuk di gugu. Dan, mungkinkah adinda paham? Tentang sebuah kalimat sakral, yang akan terucap nanti. Ialah gerbang pisah dari sejarah, sekelumit ijabah, serta secawan iringan haru dari balik rekah senyum, paling melegenda. Tapi barangkali, itu menjadi amat berbeda. Saat engkau menggubah romansa, menjadi tak berasa. ***Purwokerto, 26 Maret 2020.

Sahaja Daun Matoa

Bahkan, lekuk wajah adinda kala itu, masih saja kami simpan sebagai ungkapan kekesalan. Semacam dentuman keras, dari titik qalbu yang paling riskan. Acapkali, bayangan itu menghantui kami. Sesekali, menjadi hiasan nurani, saat mengarungi jalan ramai yang paling sunyi. Tetapi adinda, apakah pernah engkau terbayang soal ini? Misalnya, tentang bagaimana embun pagi, dengan amat bersahaja, membersama daun matoa di hadapan hati. ***Purbalingga, 26 Maret 2020.

Tuan Rumah Covid-19

Agaknya tidak berlebihan, jika Covid-19 tak mampu menjadi tuan rumah atas nama kegundahan. Karena berikut, hanyalah fakta dan makna yang bertaruh kelindan. Sungguh, akan ada nuansa, dimana hakikat bertahap, menuju bumi maslahat. Langit pun merestui, sembari berucap, "jemputlah ia yang menengadah apa adanya". Disanalah, engkau akan paham, arti dari kedamaian. Bukan hanya, soal kekaguman. Apalagi, perihal sekat intrinsik ruang selindung. ***Cilacap, 24 Maret 2020.

Sematan Belukar

Saat-saat seperti inilah, penerimaan sesama menjadi barang mahal. Betapa kerumunan, tak lagi mewah adanya. Semua dipaksa memberi jeda. Lingkaran, perlahan menuju dilema. Antara percaya, atau ingkar. Tentu, bukan maksud dari hati untuk begini dan begitu. Ini hanya perihal waktu, yang memaksa insan mengambil jarak ternyaman. Landscape semesta, nyatanya tengah di rundung riuh-rendah sembilu. Tak apalah, jika hanya padamu, sematan belukar naluri ini mengadu. ***Banyumas, 24 Maret 2020.

Peralihan Dingin

Dingin telah beralih hangat. Candra, kini berganti makna. Gumam qalbu, menukik pelikmu. Sedang, aslimu tetap menjadi umpat kelabu. Mensinyalir bunga hati, yang menepi sunyat. ***Wonosobo, 22 Maret 2020.

Terlampau Sirat

Metamu, kini memekak sekujur tubuh. Teramat dingin untukku hirup suasana. Yang sempat, usah tuk diucap. Padahal, dedaunan berbicara terlampau sirat. Lekuk semesta, tak hentinya menunjuk hatimu. Terbalut senyap, membelai peluh. ***Banjarnegara, 22 Maret 2020.

Selebihnya

Langkah harap, telah terbentang rentang. Titik pena, sudah melukiskan peluk panorama. Selebihnya, aku percayakan kepada adinda. Perihal abadi, yang dahulu sempat tersisir nestapa. Semoga semu, tak menyimpul linang. ***Purwokerto, 22 Maret 2020.

Padatan Juwita

Agaknya, Juwita tengah memasang kuda-kuda. Pertanda bulir rasa, berlabuh diantara. Padatan makna cerita, seolah menetap. Berseteru, membersama ketika. Antara dan ketika. Adalah kita, yang mungkin lebih memilih berhenti untuk mengeja. ***Purwokerto, 22 Maret 2020.

Tabir Karena

Apa yang semestinya udara terima, dari hujan di episode 2020? Ketika tawa, tak lagi menyayat sepi. Saat cemburu, tak lagi sanggup menyebutmu. Apakah ini sebuah bercak tinta? Atau, sekadar nada-nada estetis, yang dinikmati manusia tuli? Ternyata, aromamu tak lagi nampak leluasa. Seperti, saat kabut berjarak tabir karena. ***Purwokerto, 22 Maret 2020.

Kayuh Semesta

Rintik hujan, kini melantun di atas kepala. Membawa nada sumbang, yang kian meraba. Menarik diri, pada letupan panjang nafasmu. Seandainya saja, rangka-rangka yang dahulu sempat memadat itu masih ada. Tentunya, air yang di kayuh semesta malam ini, tak kekalutan menahan tanya. ***Purwokerto, 22 Maret 2020.

Ruang Interupsi (21)

Apabila term bahagia masih menjadi pendorong dan penghambat, maka kemungkinan untuk "nggejret", amat tinggi.  Kita dengan mudah menemui, betapa banyak orang yang frustasi akhirnya bunuh diri, karena ia masih mempercayai diksi bahagia dan menderita, atau lebih tepatnya salah menerjemahkan bahagia itu sendiri. Maka disini, transformasi yang radix perlu di hadirkan. Sebab, jika dibiarkan, akan mengakibatkan risk society yang tidak sederhana. Transformasi radix yang kita maksud adalah, melenyapkan dan mengenyahkan diksi "bahagia dan menderita". Formulasinya sederhana, ialah tetap "tandhang" atas segala jenis keadaan. Seminimal-minimalnya, berusaha agar tetap adaftif dan tidak kontra-produktif atas perjalanan hidup yang sangat sunyi dan privat. ***Purwokerto, 19 Maret 2020.

Ruang Interupsi (20)

Dahulu, barangkali kita sempat mendengar sebuah kata-kata bahwa "kedalaman lautan bisa terukur, namun kedalaman jiwa siapa yang tahu?". Frasa diatas, oleh sains modern perlahan terungkap menjadi fakultas geofisika dan psikologi. Kuantifikasi akan kedalaman lautan jelas mampu terbaca dan diketahui oleh geofisika. Sedang, kedalaman jiwa, di cicil kedalamannya melalui behavior pemilik jiwa tersebut. Walaupun, amat nampak limitasi pencandraan dan rasionalisasi behavior itu, ketika merangsak dari yang spekulatif-subjektif, menuju yang objektif dalam arti valid dan reliable. Maka, untuk kemudian memberi "label paten" pada struktur lautan sah-sah saja. Sebab, nature tidak berjalan sedinamis ilmu humaniora. Sedang, apabila label paten itu di sematkan pada fakultas humaniora, maka tidaklah sah, untuk tidak menyebut batal. Sekalipun, pola humaniora sempat (dan nampak masih) memiliki madzhab behaviorisme yang berjaya. Jadi, segala jenis dialektika pada rua...

Ruang Interupsi (19)

Probabilitas selalu mengandaikan kepastian. Sangat mungkin, jika derap langkah manusia terus berkembang bukan karena adanya kepastian di didepan.  Namun, agaknya perkembangan bahkan pertumbuhan manusia, lebih berdekatan dengan uncertainty yang amat melekat dengan probabilitas itu sendiri. Kesadaran semacam ini, sungguh menempel pada historical consciosness. Keduanya tak terpisah, ia jelas integral. Jadi, sejenis dengan mekanisme semesta yang serba mungkin namun penuh kepastian. Maka, dari kesadaran sedemikian rupa diatas, akan membawa kita, pada sebuah perjalanan yang bukan sekadar ter-alami an sich. Tetapi, komprehensif, bahkan radikal. Agaknya, ruang-ruang yang sebelumnya belum terbuka, perlahan open dengan sendirinya. Misalnya, stagnasi ide pada society yang tengah terkena wabah Covid-19.  ***Cilacap, 17 Maret 2020.

Berjarak Tanpamu

Hampir selalu ada guratan-guratan rasa, bagi para pejalannya. Ia mengalir, alami, dan tak sanggup untuk dibendung. Mengisi ruang-ruang kosong sembilu yang beradu. Barangkali perihal jarak yang membentang. Mungkin pula, soal waktu yang tak berkilas. Atau, bisa jadi tentang tanda tanya tak ber-irama. Menggemaskan, namun sesekali menyesakkan dan meriuhkan. Utamanya, pada dinding hati yang berselang-seling wajahmu. Karena semuanya, ternyata bersenandung, menggema dilema titik, yang nyata-nyata, berjarak tanpamu. ***Solo, 14 Maret 2020.