Kini, aku hanya bisa menatap diriku sendiri, sebagai orang yang tak berarti.
Diriku hanya bisa melihat, bahwa disekeliling, terdapat banyak tawa dari mereka yang menang.
Yang sanggup aku gapai, adalah kekosongan batin.
Yang mampu diriku tatap, ialah ketidakmampuan jiwa dan raga.
Apalah arti dari perjalanan yang seperti ini.
Apalah arti pagi, bila yang dapat aku nikmati, hanyalah sepi.
Apalah arti malam, jika yang sanggup aku terima, hanyalah kesendirian yang mencekam.
Bagaimana aku bisa mencari ketenangan, bila yang selalu ada, adalah kesesakan dada.
Apalah jadinya, jika semuanya, nyaris tak sesuai rencana.
Diriku hancur!
Diriku kalah!
Diriku pecundang!
***Purwokerto, 30 Maret 2020.
Comments
Post a Comment