Dahulu, barangkali kita sempat mendengar sebuah kata-kata bahwa "kedalaman lautan bisa terukur, namun kedalaman jiwa siapa yang tahu?".
Frasa diatas, oleh sains modern perlahan terungkap menjadi fakultas geofisika dan psikologi. Kuantifikasi akan kedalaman lautan jelas mampu terbaca dan diketahui oleh geofisika.
Sedang, kedalaman jiwa, di cicil kedalamannya melalui behavior pemilik jiwa tersebut. Walaupun, amat nampak limitasi pencandraan dan rasionalisasi behavior itu, ketika merangsak dari yang spekulatif-subjektif, menuju yang objektif dalam arti valid dan reliable.
Maka, untuk kemudian memberi "label paten" pada struktur lautan sah-sah saja. Sebab, nature tidak berjalan sedinamis ilmu humaniora.
Sedang, apabila label paten itu di sematkan pada fakultas humaniora, maka tidaklah sah, untuk tidak menyebut batal. Sekalipun, pola humaniora sempat (dan nampak masih) memiliki madzhab behaviorisme yang berjaya.
Jadi, segala jenis dialektika pada ruang reseptor simbolik humaniora, sejatinya tak pernah boleh di "pola" kan secara beku dan kaku.
Karena pada faktanya, kita lebih sering menemui, hal-hal yang tak terduga dan serba uncertainty dari fakultas humaniora, ketimbang fakultas nature.
Dari sekelumit rekonstruksi frasa "kedalaman lautan dan jiwa", seminimal-minimalnya kita tidak menjadi serampangan, dalam hal merasa, berfikir, dan bertindak.
***Banyumas, 17 Maret 2020.
Comments
Post a Comment