Skip to main content

Posts

Proyek Ingatan

Masa-masa saat ini, manusia secara mayor, dibawa oleh alam untuk mengalami ketidakberdayaan eksistensial. Sampailah kini, para penduduk bumi menginjak fase-fase tersulit, yang unpredictable. Sebagian kalangan, memang tidak merasakan dampak domino dari letupan covid-19. Namun, keberlangsungan krisis ini benar-benar sanggup mengelupas habituasi yang cukup mapan.

Bentangan Laku

Dalam rentetan perjalanan hidup manusia, banyak terdapat jejak-jejak kesamaan, sekaligus perbedaan. Misalnya, kebutuhan biologis atas lapar, sama-sama bertujuan demi memenuhi kebutuhan sel-sel tubuh. Sedang perbedaannya, ada pada preferensi menunya. Dalam rangka melanjutkan tanggungan berbagai "masalah" yang manusia hadapi pun, mengandung kesamaan, yang pada  akhirnya pun, terkandung perbedaan. Dari persamaan dan perbedaan "sederhana" inilah, muncul berbagai "masalah" berikutnya. Kecenderungan manusia untuk memilih kesamaan dari pada perbedaan, telah banyak dibuktikan oleh para ilmuwan. Tentu, dengan titik tekan, sekaligus dengan menggunakan peta ulasan yang beragam. Meski begitu, kodrat "unik" dalam diri manusia, tetap saja tidak bisa dinafikan. Baik sebatas konteks dan teks, maupun historisitas latar belakangnya. Ditengah "kesunyian" yang mau tidak mau dijalani oleh tiap-tiap manusia (sekalipun ia tengah berada di khalayak ramai), neg...

Ketegasan Simbol

Kelengkapan atas penjelasan pada suatu hal, mesti menyisakan ruang hampa makna. Sekalipun ada beberapa hal yang kemudian menjadi konsensus bersama, itu pun tetap tidak menangkap senyatanya presentasi kehendak. 

Adaptasi Interest

Kekecewaan publik sedang meradang, sekalipun belum menjangkau seluruh elemen. Jika diakumulasikan kedalam nalar awam, terdapat titik besar; adalah kekhawatiran efek domino terhadap kebebasan kompetisi pasar. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kompetisi akan selalu dimenangkan oleh mereka yang telah bersiap dari segala sisi. Maka otomatis, mereka yang menyatakan belum bersiap, akan mengajukan protes.

Pemenang Perang

Mata manusia melebar, sesaat setelah fakta menyenangkan diakuisisi oleh persepsinya. Sebaliknya, mereduplah matanya memandang buruknya fakta. Dikotomi perjalanan hidup manusia, yang tak terperikan oleh kecanggihan teknologi apapun. Keriuhan sejarah manusia hampir (mungkin), menuai seluruh segmentasinya. Dari sekadar guratan primer-biologis an sich, sampai hal-hal yang benar-benar tersier ditemukan oleh makhluk ber-akal ini. Semua terasa begitu cepat, ketika literatur-literatur sejarah dikupas dan diulik oleh para futurolog.

ber-Laku Dasein

Saat manusia tengah menjalin interaksi dengan manusia lainnya, entah dalam perkara makro ataupun mikro, mesti selalu ada ketidaklengkapan penangkapan maksud dari apa yang di interaksikannya. Kita sama-sama pernah mengalami, bahwa ketidaklengkapan benar terjadi, ketika terdapat pengulangan kalimat, ataupun bahasa tubuh. Interaksi manusia dengan manusia lainnya, memang ber-relasi erat dengan pengalaman dari pelaku interaksi itu sendiri. keber-relasian tersebut, memungkinkan terjadinya kelengkapan konten interkasi, yang kemudian mampu menghadirkan kemungkinan kecil dari disharmoni.

Ilmuwan Remang-Remang

Semua tradisi keilmuan dalam wilayah akademis maupun non akademis, memiliki sisi-sisi yang berjenjang. Hematnya, dimulai dari segala jenis "apa", beranjak ke beragam tema "mengapa", sampai pada derajat macam-macam "bagaimana". Titik puncak kepuasan keilmuan seseorang, secara mayor berada dalam posisi kebergunaannya. Posisi kebergunaan tersebut, bisa yang berpihak pada "enak" mutual, atau sekadar enak "individual".

Sebat Metafisika Cinta

Nama Arthur Schopenhauer; mungkin dikalangan ketimuran, masih asing terdengar, ketimbang nama-nama seperti Plato, Aristoteles maupun Al-Ghozali, dan seterusnya. Namun, cukup menarik jika kita mencoba melihat bagaimana dia mengeluarkan gagasannya berupa "metafisika cinta". Schopenhauer, memberi eksplain berkisar antara tunduknya (subordinasi) suami pada istri, orang tua pada anak, individu pada spesies. 

Sebelum Yang Rigoris

  Seiring dengan “tidak” membaiknya kondisi pandemic per-2020 akhir-akhir ini, membuat pelbagai lapisan kebudayaan berekspresi sebegitu ragamnya.  Lingkup komunal yang bervariasi pada penekanan berhadap-hadapan eksistensial secara langsung, kini ber-sentra haluan menjadi serba virtual. Tentu, implikasi dari hal tersebut, memuat sisi-sisi kenormalan yang kongkret, tercerabut.   Keluasan dan keleluasaan pada interaksi “tak langsung”, pada satu sisi bersifat melenyapkan muatan komplementer behavior . Mimik dan intonasi, sebagai pilar dari konteks, semacam kehilangan genuine-nya.  Semua jenis interaksi, (pada titik tertentu sebagian), menjadi serba menyempit. Hal itu, menjadi penanda berkelanjutan, bagi perkembangan bias kognisi.  

Lokasi Transenden

Pada era krisis yang tengah manusia alami akhir-akhir ini, terdapat keterkejutan sikap sekaligus perilaku, yang sejatinya sama sekali baru. Sikap sebagai modalitas berperilaku pada manusia, bersifat reaktif terhadap perubahan “cuaca” zaman. 

Tapi Kita

Aku buatkan sajak untuk adinda, diantara kosong yang paling mengada  Aku sisipkan sajak untuk adinda, ditengah gelisah yang melabuh sedia Vi, Yang pahit bukanlah kopi, tapi kita Yang memilih berjarak,  padahal dekat Yang memihak bisu, padahal bersorak ***Banyumas, 21 Agustus 2020.

Repihan Nama

Mi, kemarin sempat muncul jeda di Surakarta Kami menatapnya, ia hening Lalu,  gambarmu larut di selanya Dengan jelas kami melihatnya, ia diam Dan, sabdamu nyaring di dada kepala Kami ringkas memeluknya, ia gusar Harapku, sampaikan saja apa adanya Bila perlu, sama sama kita lunasi nestapa Mi, Sampai malam disini, belum ada refil kalimat kata, semua lebur digulung ombak selatan sana ***Kebumen, 16 Agustus 2020.