Skip to main content

ANTOLOGI "Sajak Kembang Wangi"

ANTOLOGI

Sajak Kembang Wangi


Oleh ;

#Dnfithr {Dhani Fitriyani}

#Tonyfa {Alan Fatoni}

#A.A.K {Ahmad Abdul Khaq}

#dRR {Dimas Rahman Rizqian}

#AR {Emha Nailul Author}

#GetaranSenja {Devi Lestari}

#ZH.I {ZulHaji Ismail}

#siNU {Silfi Nahdiatul Ummah}


Spesial celoteh #Dolop \M/ {Ali Antoni}

-----

"Sederet kalimat mengalir begitu saja bersama liuk pena mungil yang sedari tadi ia pegang. Tak begitu sadar ternyata dia sudah duduk di bangku itu lebih dari satu jam lamanya. Waktu yang cukup lama bagi mereka yang menunggu, namun teramat singkat baginya yang tengah mengulang deretan kisah yang terjalin dalam kurun waktu tahunan."

Aku tak yakin betul kau masih mengingatku, atau sekedar mengingat namaku. Pun begitu, ingatan tentangmu selalu menarik untuk diulang-ulang kembali tanpa menyisakan rasa bosan. Tentang namamu, cara berpakaianmu, cara berjalanmu, makanan kesukaanmu, dan hal-hal tidak penting lainnya menjadi amat penting jika itu bermuara padamu.

(Dhani Fitriyani)


******

Seraya mata ku terus terbujuk untuk memandang bangku kosong tempat biasa kau duduk di sana, seperti waktu itu, kau yang melihat ke atas dan tersenyum tipis seraya berkata "awan itu berbentuk kelinci", kau melihat ku dan tersenyum lagi, gembira mu di sambut gelitik rumput hijau yang terasa di kulit tanpa alas kaki kita berdua. Hati ku, terasa hangat, tak ku rasa basah dari sudut mata mengalir ke pipi kanan ku, aku tersadar dari lamunan, masih di sini memegang kertas dan pena ku.

(Alan Fatoni)


######

Berbaris rapi tertulis padat kisah kisah perjalanan, dari siang hingga redupnya hangat perjumpaan. Kau masih merayu, melirik tajam memangku harapan yang kesekian kali mulai layu. Kadang kadang ku merasa terbuang didalam lumpur lupur suci, terkucil dan terasing oleh cacing dalam otaku sendiri, atau seperti terjebak luasnya belantara, rimbun, tak pernah berujung tepi. Hingga kupeluk lutut dengan angan angan, berlamun dalam indahnya kalut bayang bayang, gugur daun daun kamboja menebar pada tiap selasar kehidupan.

Kusadarkan diri, kusenjatai hati kini dengan berjuta juta duri, hingga pada suatu ketika kau duduk kembali, kutancapkan satu pada kakiku agar ku tak beranjak dari pergi. Tapi engkau adalah jarum tajam, senyumu menembus awan awan hingga mendung tak berani nampak datang, keramat wajahmu bak wanodya, bening oleh raut muka muka manis manja. Aku tetaplah tumpul dan fana oleh sihirmu yang mandraguna.

(Ahmad Abdul Khaq)


""""""""""""

Mengapa sebegininya, cinta?

Apakah engkau mengerti, betapa hati terlampaui pelik bila harus kusasarkan padamu. Terutama, pada gerombolan bising, melambai-lambai disana.

Sekalipun tak berkedip mata merantau di sunyi, aku tetaplah aku, dan kau tetaplah kau. Syahdan, kita sama-sama bertanya apa, mengapa, untuk apa semuanya. Hingga, bugenvil dihalaman ini, kau pinta sebagai prasasti, dari batas ruang terjal itu. 

(Dimas Rahman Rizqian)


++++++++++

Kita setiap hari membaca, menulis dan berkata-kata dari susunan huruf abjad yg sama; A-Z. Kita sama-sama membaginya menjadi dua bagian; konsonan dan vocal. Nama kita juga sama tercipta dari itu. 

Namun bedanya, aku bisa membaca; kamu ada. Sedang kamu membaca; kamu tidak ada. 

Ini hidup, bukan mati;

Ada begitu banyak makhluk Tuhan yang mengancam dengan perasaan, dan membawanya larut dalam-dalam.

Buta huruf itu milik mereka yang tidak bisa membaca kata. Sedang buta cinta itu milik mereka yang tak bisa membaca rasa.

(Emha Nailul Author)


/////////////////

Tulis, hapus -- tulis, buang -- tulis, remuk. Ayolah, ada apa denganku? Seharusnya kau musnah, lenyap seiring kata yang kuhamburkan. Namun, apa? Kau abadi tuan, kau semakin nyata untuk kusebut, 'Binasa' sepatutnya kau melihatku, kau menyaksikan betapa konyol diriku. Kau tertawa? Apa kau bahagia? Apa kau sedang bercanda? Ah, Aku rasa aku memang gila, bagaimana bisa aku berbincang dengan seonggok amarah-murka? 

Ya, kau hadir dalam celah, kau ada dalam kata, nyata, tak bicara, tak terjamah, tak terjelajah, tanpa tanya, tanpa nada, tanpa irama -- satu, utuh, menyatu -- abadi, sunyi, sepi, lirih -- sial, kau tetap saja aku ingini.

(Devi Lestari)


))))))))))))))))

Dari panjangnya perjalanan kehidupan ini, ternyata kita hanya berada pada satu poros lingkaran. Garis-garis di jalan tak ada yang lain selain lurus, berbelok, atau putus-putus. Garis tetaplah garis, berbeda dengan kata yang bisa menghasilkan makna. Lucunya setapi setiap makna bisa mengalami gradasi atau degradasi.

Maka syair pun tak bisa menyampaikan setiap makna dibalik kata. Hanya rasa yang merindu pada hakikat lah dapat kita hayati. 

Nuansa religi menggambarkan hikayat kerinduan, pada cinta, pada rasa ingin bersama, pada rumah tempat abadi. Sehingga trilunan butiran pasir tak bisa menandingi kerinduan padaNya, apalagi dalamnya palung dilautan tak bisa menggambarkan dalamnya perasaan padaNya, pada rindu aku ingin menyatu padaMu.

(Zulhaji Ismail)


~~~~~~~~~~

Malam menikam sepi berkepanjangan, dibalik jendela daun berguguran, ikhlas berpisah dari sang dahan. Lepas, jatuh, pasrah, punah, bukankah sudah qadarNya? Mengapa hanya segelintir saja yang bisa melakukannya? Dialah aku, seonggok rindu yang terus menunggu, merayu, meminta, memujaNya untuk mengembalikanmu padaku

(Silfi Nahdiatul Ummah)



÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

Spesial celoteh ; 

Segores tulisan, beberapa kumpulan kata menjadi kalimat, menjadi berkah, menjadi bencana, menjadi dingin, menjadi api, merubah sejarah, dan hanya menjadi tumpukan huruf, semua bisa berlaku pada tulisan.

Bahkan Tuhan berfirman pun lewat kata-kata.

Jika ada yg bisa menembus ratusan juta kepala manusia, bukanlah satu peluru, namun satu kata.

Menulis bukan hanya sekedar perangkai huruf, namun bisa jadi mesin peradaban. Selama masih ada penulis, maka masih aman suatu zaman.

 ; "Terus berproses, temukan titik tugas kita sampai detail, semoga bisa terus sabar menjalani dan Istiqomah."

(Ali Antoni)

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-