Untuk sampai pada mengalami irama hidup berprinsip "maraton", diperlukan pemahaman yang universal, radikal, sekaligus reflektif. Poin atas pemahaman tersebut, memberikan peluang yang lebih besar untuk menyadari kebutuhan bertumbuh.
Maraton sebagai sisi paradoksal dari sprin, mengandaikan rentang jalan hidup yang panjang dan lebar. Subjek dan objek yang memiliki ketahanan, akan dengan sendirinya menggeser kegemilangan apapun yang bersifat kesementaraan.
Kemudian, poin yang melingkupi secara integral pada prinsip maraton tersebut; pertama soal universalitas. Menaruh arti, keluasan jangkar pandang, yang kemudian akan membawa ke arah kedewasaan sudut pandang, sekaligus menjernihkan resolusi pandang.
Lalu kedua, tentang radikalitas. Bermakna melintas jauh ke titik-titik akar yang melatarbelakangi segala hal (first principle). Misalnya, manusia memilih menu makan, maka first principle-nya adalah soal lapar (biologis), etc.
Dan ketiga, perihal reflektifitas. Term ini, membumbui sikap dan laku yang terus "bercermin". Sebuah proses menganggap penting segala hal, untuk diberi penamaan untuk sampai pada pemaknaan. Dari hal yang terkecil sampai besar, dari yang mungkin senyatanya, ke yang mungkin seharusnya.
Syahdan, kerangka pikir semacam ini, agaknya masih jarang kita ketengahkan sebagai isu maistream. Hal tersebut wajar, namun sebenarnya ironis. Lebih-lebih, "harga" diri manusia modern yang telah dikaburkan oleh sekadar kepentingan perut.
Hingga pada akhirnya, problem atas ketenangan hati, menjadi sesi puncak dari menjalankan peran kehambaan, dalam fungsi apapun saja, ditengah rentang jalan kesejarahan manusia. Nun, mau dan mampu menerima "pluralitas diri", merupakan setingginya kemewahan di mengalami diri.
***Purwokerto, 4 Maret 2021.
Comments
Post a Comment