Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2020

Manusia Manusia Semacammu (4)

Mereka tak biasa, kami berbiasa Kami di pasung kecurigaan, mereka di lepas kewajaran Mereka mengalami hari ini, kami tidak sama sekali Kami lebih sering berbeda, mereka malah kerap sama Mereka searah, kami berhaluan kesamping juga membelakang Kami berniat fana, mereka sudah berlaku abadi Mereka siap sedia dan telah berkorban,  kami memilih tertawa sampai ketiduran Kami dibunuh diri, mereka menghidupkan langkah hati ***Solo, 1 Agustus 2020.

Manusia Manusia Semacammu (3)

"Rega nggawa rupa"; harga membawa penampilan. Kira-kira begitu, bunyi hukum alam berlaku. Punya sigini, dapatnya segini. Dapat segitu, kalau punyanya segitu. Tetapi, bagaimana dengan moral? Apakah kemudian berlaku didalamnya, atau ada distingsi dalam lingkupnya? Sore menjelang senja, lampu-lampu kota mulai menyala. Hiruk-pikuk pejuang kehidupan, rata-rata tengah berpulang. Jalanan padat merayap, gesekan batin sama-sama ingin mendahului kepulangan. Ditengah arus besar peristirahatan rutin harian, ada pula yang baru saja berangkat menuju lahan garap perjuangannya. Para pelaku perjuangan itu, mengarungi jalan sunyinya masing-masing. Pendapatan secara ekonomis, jelas berbeda. Kelas atas, menengah, sampai bawah, memadat dan berkerumun riuh di sela-sela bidang ma'isyahnya. Konon, orang yang berpendapatan ekonomi atas, berlaku bagi mereka yang pandai "jualan", apapun itu. Dari kebutuhan pokok, sampai hiburan belaka, semuanya berhukum sama.  Berbanding terbalik, mereka ...

Manusia Manusia Semacammu (2)

Nampak jelas, guratan juang dari pelipisnya, tak terkecuali lebam kedua telapak tangannya, tanda berat memikul tanggung jawab. Diantara ribuan wajah yang bersua, agaknya yang ini lain dan berbeda. Disana ada ketulusan, kesabaran, sekaligus dentuman syukur tiada henti. Ia, sejatinya tak berkecukupan, menurut kacamata modernitas. Pun, terseok-seok roda life style yang hingar-bingar abad 21 ini. Namun, sepertinya tidak pernah terjadi "apa-apa" dalam jiwan terdalamnya, misalnya cemburu dunia, dan lain sebagainya. Ditengah badai virus "by design" kekuatan besar ekonomi dunia, ia semacam tak memperdulikannya. Walaupun tetap saja, perilaku dalam konteks pemenuhan kebutuhan sehari-sehari, tak ternafikan ikut ter-gubah. Hari demi bari dilewatinya dengan sentuhan romantik bersama anggota perjuangannya, keluarga. Disanalah, kunci kelegaan batin dalam mengarungi hidup yang garang nan kejam. Disana pula lah, titik terendah dan bangkit bercampur dengan air mata yang tak mampu ia ...

Manusia Manusia Semacammu (1)

Apa pernah... Engkau mengunjungi sebuah kota, dimana mimpi-mimpi kau gores disana Kemudian, batinmu tertuju pada banyak wajah, yang menyerta disana  Apakah sempat... Waktu kok berjalan melamban, tak biasa pada sepertinya Kemudian, kenang membanjir haru, meresap ke dadamu Pabila engkau mengalami itu, ucapku salut padamu Tak banyak manusia semacammu, yang dengan tulus mengarungi hidup, penuh dengan ingatan merdu Dan, titip pesanku pada hatimu... Bahwa manusia-manusia semacammu, adalah pewaris sejarah sunyi, yang mana disana, terdapat ingatan jejak prasasti, bumi milik bersama ***Banyumas, 24 Juli 2020.

Bersaksi Atasnya

Dahulu... Ku coba selalu menunggumu Memaksakan diri, menyita waktu Dahulu... Ku gadaikan masa, hanya demi bertemu sapamu Dahulu... Masa depan tergambar jelas, saat kita memadu laksana Tetapi, semua mesti berkabung Saat engkau memihaknya, memilihnya  Lampu pusat kota, bersaksi atasnya ***Banyumas, 20 Juli 2020.

Palingan Salingan

Ada yang selalu terlewat,  kala udara melantun sirat Kenangmu... Selalu terbayang wajah syahdu,  dari balik jeruji kediamanku Kenangmu... Lekuk indah senyummu, berpadu dengan teh sajianku Kenangmu... ***Banyumas, 20 Juli 2020.

klise

Apa yang menjadi selaksa diujung timur, adalah sejati Begitu juga di pandang barat Tapi kemana kau? Bukannya aku tengah bermain ini, apalagi berdalih itu Yang jelas, semua berenergi sama Tapi kemana kau? Ingatan bertumbuh kesana kemari Padanan menjadi bias Sedang, aku ini klise Tapi kemana kau? Seluruhnya,  mengatasnamakan keabadian Berkayuh menuju kebijaksanaan Tapi kemana kau? Hah!? katamu, Iya, pesanku ***Banyumas, 19 Juli 2020.

Persaksian Pecundang (2)

Leherku ketat oleh asap, mataku pekat karena jarak Diantara bayang lalu hadir, mengisi dada sesak berserak Apalagi harus ku alami, bila tak lagi makna mengarti Apalagi wajib ku alami, bila nyawa deras menangisi raga ini Inilah kesaksianku kekasih Pecundang dari tanah kelahiran Badanku tercabik sepi, bibirku lemas bertepi ***Banyumas, 18 Juli 2020.

Persaksian Pecundang (1)

Dalam ruang gelap jiwa,  merongrong beragam asa Bergeliat harapan masa akan, meronta pelik tak berkesudahan Impian terus mengaliri pikiran, impian membasahi perasaan Energi terkuras keadaan, ragam tema memutar berkelindan  Sebenarnya, dimanakah engkau berada kekasih Parasmu seolah bersembunyi, membelakangi nuansa tabir perjumpaan Sebenarnya, kemanakah aku menjemputmu kekasih Bila arah tak lagi mengarah, jika titik tak dapat memberhentikan Asaku lengah, terengah Nafasku kontai, meludah Entah, lah ***Banyumas, 18 Juli 2020.

Spesialisasi atau Generalisasi

Spesialisasi itu, mengharuskan linieritas. Baik dalam lingkup akademik, maupun track record sosial. Ini penting, namun bisa jadi memunculkan cacat keterbukaan, nir-inklusif. Pada sisi lain terdapat generalisasi, sebagai lawan dari spesialisasi. Sifat dan sikap universalitas pada generalisasi, memiliki interest untuk memasukan segala unsur yang ada. Akan tetapi, bisa pincang spesifikasi, nir-eksklusif. Keadaan dekade terakhir ini, semacam bermusuhan dengan keduanya. Spesialisasi menghina generalisasi, begitupun sebaliknya. Pada dekade akhir-akhir ini, digitalisasi memuat algoritma tersendiri dengan AI-nya. Diantara spesialisasi dan generalisasi, keduanya memiliki celah yang saling tambal sulam. Keduanya, memungkinan terjadinya aspek dialogis, bila memang ada insight untuk mengetengahkan ketersalingan. Syahdan, sekalipun penetrasi kebudayaan terus menerus tercerabut dari akarnya oleh arogansi sains global, mereka akan tetap menyambung tali simbiosis mutualisme. Dengan catatan, antara spe...

Dibalik Meja Revolusi

Perkara kejenuhan, bosan, dan lain sebagainya, yang sejenis rasa dengan hal tersebut, sejatinya mirip dengan kesenangan. Keduanya sama-sama berwarna semu, inner-subjektif, dan uncertainty. Sekalipun kedua problem itu berkelindan up-down dalam nafas jalan manusia, yang pasti eksis diantaranya adalah, perkara sikap favorable-unfavorable saja. Artinya bukan menjadi titik tekan paling krusial. Itu sejenis bunga ditaman yang memiliki inter-subjektif, sama-sama memancarkan keindahan yang absurd. Jenuh, bosan, dst., jelas sama sekali bukan idaman manusia, walaupun kondisi tersebut cukup mendorong produktifitas peradaban dalam bentuk yang macam-macam, selain fitrah kuriositas. Beban berat yang menumpuk, merupakan salah satu biang keladi kejenuhan dan kebosanan. Namun, tidaklah perlu merisaukan hal tersebut. Sebab, diantara semua agenda revolusi yang overt maupun covert, pola stagnan yang melekat kuat pada diksi jenuh dan bosan, ialah pangkal-hulu gerak kesejarahan. Syahdan, memang semua perlu ...

Kenyataan Pertanyaan

Kemampuan filsafat, apabila kita gali ulang, nilai puncal kehebatannya bukanlah pada hasil atau kegunaannya. Sebagai induk segala ilmu, filsafat lebih tertarik untuk mempertanyakan segala hal, secara radix. Jawaban Thales, atas hulu alam semesta ini, tidaklah se-heboh pertanyaannya. Begitupun jejak kesejarahan para filsuf setelahnya, sekaliber Socrates, Descartes, dan seterusnya. Segala macam revolusi dunia, baik itu yang tercatat oleh sejarah maupun yang tidak, memuat sisi kehebohan pertanyaan filosofis. "Kenapa harus Matahari?", kata Ibrahim. "Kenapa mesti kapitalistik kesukuan", kata Muhammad. Menjawab sebuah pertanyaan, bukanlah hal yang mudah. Namun, memunculkan pertanyaan yang radix, sebetulnya jauh lebih susah. Syahdan, sayangnya cover sosial kelihatannya tidak terlalu tertarik untuk mengetengahkan soal kehebatan pertanyaan. Karena memang, kekayaan dan kekuasaan, jauh lebih menarik, sekalipun itu kenyataan yang fana. ***Cilacap, 13 Juli 2020.

Celah untuk Beragama

Dalam ruang kesadaran manusia yang serba misterius, terdapat pola yang cenderung berulang, ialah ketidakberdayaan manusia terhadap sesuatu, akan berefek pada perilaku mencari celah untuk berdaya kembali. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), dikembangkan oleh manusia, untuk membantunya dalam keberdayaan. Segala macam hal, yang dahulunya tak mampu digapai, kini dapat tergapai. Misalnya, komunikasi jarak jauh dari satu alat saja. IPTEK yang memiliki peran membantu manusia dalam keberdayaan yang begitu luar biasa canggih saat ini, ternyata masih tidak mampu memastikan "kapan manusia akan mati". IPTEK tidak mampu memastikan, ia hanya sanggup sampai memprediksikan, itu pun tidak selalu andal. Ditengah ketidakberdayaan IPTEK memastikan perihal kematian, disanalah agama hadir sebagai sandaran manusia. Walaupun kita sama-sama memahami, bahwa agama bukanlah semata-mata hadir hanya untuk menambal celah ketidakberdayaan manusia an sich. Dalam pencarian mencari celah keberdayaan, ada p...

Pertanggungjawaban Persepsi

Perjalanan waktu memang membuktikan, misalnya betapa mengecilnya lingkup pergaulan. Manusia sama-sama mengalami, pernah dikecewakan oleh manusia lainnya, pun sempat mengecewakan manusia lainnya. Waktu kerap membuktikan, siapa yang benar-benar tulus, dan siapa yang mungkin kurang tulus. Walaupun ada pembenaran sikap untuk menghindari orang yang kurang tulus tersebut, namun bagi orang yang bijak, itu bukanlah pilihan tertepat. Selain sebagai pelaku kemungkinan, manusia juga merupakan pelaku persepsi. Dibalik persepsi, ada konsep diri yang melatarbelakanginya. Yang mana, hal tersebut benar-benar unik. Dalam artian, tidak ada yang sama persis antara satu dengan lainnya, paling maksimal mirip-mirip. Dari yang mirip-mirip inilah, manusia menggauli manusia lainnya.  Faktor lingkungan atau pergaulan, memang cukup berpengaruh besar bagi konsep diri si manusia tersebut. Sebab disanalah, proses interkasi pengalaman berjalan dialektis. Pertukaran pengalaman, sangat berpotensi menumbuhkan kesad...

Masalah Belajar Masalah

Kerumitan masalah demi masalah yang manusia hadapi, merupakan media pembelajaran yang paling efektif, sekaligus paling kejam. Sekolah, kampus, kursus, dan lain sejenisnya, barangkali mampu memberikan apa yang kita sebut pembelajaran. Akan tetapi, agaknya hal tersebut tidak se-radikal masalah yang kongkret dihadapi oleh individu. Kita berpengalaman atas belajar dan pembelajaran, baik yang formal maupun yang non-formal. Walaupun tidak senada persis, kita sama-sama mengalami, bahwa misalnya, betapa sulitnya mengajari anak untuk rajin belajar, sedang anak tersebut tidak pernah "bermasalah" atas ketidakrajinannya dalam belajar. Atau katakanlah, betapa sulitnya saya berempati kepada anak yatim, sedang saya bukanlah anak yatim, dan masih banyak contoh lainnya. Menurut agama, masalah hadir sebagai penebus dosa, pemberi peringatan, jalan tol per-taubatan. Masalah yang datang, kata agama, menyesuaikan kemampuan individu manusia tersebut menyangganya. La yukalifullohu nafsan illa wus...

Pusaran Relasi Absurditas (10)

Sekalipun pemilu 2019 yang panas kemarin masih menyisakan riak-riak perpecahan, hal tersebut sangat mungkin untuk terulang kembali pada pemilu-pemilu berikutnya, apabila undang-undang ambang batas masih berlaku, walaupun undang-undang bukanlah variable utamanya. Pada era media sosial yang tengah memuncak akibat pandemi akhir-akhir ini, tidak kemudian informasi yang mengandung unsur perpecahan lenyap begitu saja. Pasalnya, hal-hal yang membuat kisruh di media sosial akan tetap ada sepanjang manusia itu sendiri ada. Kita sebagai manusia lainnya yang hidup bersosialisasi di media sosial, dapat menemukan pelbagai kekisruhan itu. Pengendalian atas "kerusuhan" tersebut mungkin agak terkendali dengan beberapa undang-undang yang diterapkan, walaupun dalam tataran praksis justru merugikan pihak-pihak yang bersuara lantang. Dalam konteks kekisruhan yang terjadi di jagat media sosial, entah apapun kontennya, bisa kita tempatkan ke dalam sisi eksternal dari diri masing-masing kita. Artin...

Pusaran Relasi Absurditas (9)

Eskalasi yang terjadi pada informasi digital akhir-akhir ini, kerap membuat psikis publik kelimpungan. Broadcast your self yang sudah mengembang dan tumbuh, acapkali menjadikan publik tercerabut dari akar kebudayaan ketimuran yang santun. Media sosial kadangkala  kelewat batas, untuk tidak mengatakan sering, menampilkan segala macam hal, yang positif dan negatif membaur tak terperikan. Memang, kita sama-sama mengerti, bahwa seluruh keputusan konsumsi dikembalikan pada diri individu masing-masing. Akan tetapi, hukum propaganda tetap saja berlaku dalam segala zaman, salah satunya adagium; "sesuatu yang diulang-ulang akan menjadi benar, sekalipun itu keliru". Dalam rangka menyimpulkan benar dan salah, manusia memiliki tendensi dan preferensinya sendiri-sendiri. Lebih kurang, ia akan mempertimbangan pengetahuan tradisional (waktu), akal sehat, pihak otoritatif, dan intuitif. Yang mana, pertimbangan tersebut memiliki ketidakandalan yang primer, dalam artian margin of errornya sang...

Angka 8

Jalan begitu panjang, makna mengitar teramat dalam Seloroh kumbang, tak berarti simpul jawaban Kepala tak mampu mengurai, terlebih pada dada dekapan Berganti pagi, tak kutemui titik terang  Berubah hari, tak kujumpai pencerahan Dimana, alam raya menyimpan? Lusuh hati berkalung padatan, pelik mengalun picik Belum juga rasa itu mencair, justru beralih mencekik Pun... Tersisa satu kegusaran, Dimana, alam raya menyembunyikan? ***Banyumas, 8 Juli 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (8)

Cara pandang bukan hanya beragam, namun sangat dinamis, bahkan pada diri setiap individu. Kita bisa menjumpai hal tersebut pada banyak hal, salah satunya pada diksi "sepeda", akhir-akhir ini. Kedinamisan yang melekat pada cara pandang, terkadang disalahartikan sebagai ketidak konsistenan atau kelabilan sikap. Padahal jelas-jelas, dinamika selalu mewarnai kehidupan, dari mulai metabolisme tubuh sampai ekosistem pasar global. "Indonesia memang sudah melaksanakan persatuan, akan tetapi kita belum mewujudkan kesatuan", kata 'orang gila' yang saya temui tahun 2017. Mendengar kalimat itu, saya hanya mengiyakan saja, sambil tetap mendengarkan orang gila tadi ngoceh, sekaligus ngacung-ngacung buku yang ia tulis sendiri, katanya. Ketika kejadian 2017 tersebut saya ingat-ingat kembali, ternyata ada benarnya juga. Walaupun diksi persatuan dan kesatuan itu perbedaannya betul-betul tipis, akan tetapi, maknanya berbeda 180 derajat. Pertanyaanya, apa yang berbeda? Jawaban ...

Kekasimu Bisa Apa?

Urat malu peradaban terputus oleh jarak, waktu, dan kelamin Kekasimu bisa apa? Kebudayaan terjun bebas, kemiskinan ditertawakan Kekasihmu bisa apa? Agama menjadi komoditas, neraka dijual bebas Kekasimu bisa apa? Kemewahan dipertontonkan, kesusahan ditiadakan Kekasihmu bisa apa? Kekayaan dikejar, kekuasaan diprimerkan Kekasimu bisa apa? Libido diliarkan, aurat mereka persilahkan Kekasimu bisa apa? Orang tua dilupakan, ciptaan Tuhan kami lecehkan Kekasimu bisa apa? Cinta dikerdilkan, rindu dinafikan Kekasimu bisa apa? ***Banyumas, 7 Juli 2020.

Sehelai Biji Padi

Ada mimpi yang melambat Ada harap yang terhambat Gambar diri, menatap kuat Kosong, namun padat Beberapa sisi dunia menghantam Tibanya makna, mengais letupan Terkira, tetapi tak berujung suram Frasa mata mengatur jejak Langkah kontai berbekal serah Bagaimana kekasih, bila dadaku tertikam peluru tajam Berlumur darah dosa, membanjir sungai duka Bisakah engkau berdiri di hadapan Menanti tegak impian, merajut hari berdampingan Tetapi kekasih, imanmu sekecil isi biji padi Mudah terseok burung sehari, tak berarti bagi pak tani ***Banyumas, 7 Juli 2020.

Berat Sebelah

Pundak sebelah kanan, berkalung penantian Mengelak lupa, menepis penat tersisa Meski gerimis mendera telinga, mata hanya sanggup meraba kemana perginya cerita Ia lusuh,  luruh menatap jendela Mereka cemas, menyimpan tanya di tengah dada ***Banyumas, 6 Juli 2020.

,,,

Berkah,  atau kutukan Tak berkelit, satu arah Gelap, diantara keterangan Laknat, ditengah penantian Kemana lagi, arah menatap Pekat, mengalun sesaat ***Banyumas, 6 Juli 2020.

,,

Kepada mimpi yang tak sempat aku balas Engkau memberiku harap tak berkilas Letih mangakar belukar Kepada gerimis yang mengumpat di antara perbatasan Aku menunggui jejak nafas perjumpaan Menyetiai paradoks menampar ***Banyumas, 5 Juli 2020.

,

Ruang kosong menyita makna,  berserak diantara Arti jalan mengerdil, diam diam beranjak sama Tidak mengerti, hanya beradu sisi Disana mencari, menggerus imaji Yang di hadapan, berkata bukan Yang di tepian, berkata sekian ***Banyumas, 4 Juli 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (7)

Saya sebenarnya tidak terlalu mengerti, atau hafal dengan baik tentang konsep-konsep yang berkembang dan berpengaruh besar terhadap perubahan peradaban. Sebut saja misalnya, tauhid, tasawuf, tarekat, filsafat, sains, algoritma, dlsb., namun yang saya pahami dari itu semua, adalah terkait pedoman yang dibuat "alam" untuk memudahkan interaksi perjalanan kesejarahan. Berbicara tentang interaksi, maka secara waktu, ia merupakan sesuatu yang tak akan selesai, dalam artian akan terus mengalami perkembangan sepanjang manusia itu hidup. Konsep dan teknis interaksi, jelas akan berbeda, misalnya antara tahun 80'an dengan hari ini. Dalam berinterkasi, manusia sebenarnya bukan hanya menikmati pertukaran bahasa, gestur, informasi, dlsb., tetapi juga exchange kebudayaan. Sebab, azali "pengaruh-mempengaruhi dan aksi-reaksi", akan selalu meruwat atau membentuk jiwa masing-masing pelakunya. Bentukan antara satu individu dengan yang lainnya, jelas beraneka ragam, unik. Diatas sem...