Eskalasi yang terjadi pada informasi digital akhir-akhir ini, kerap membuat psikis publik kelimpungan. Broadcast your self yang sudah mengembang dan tumbuh, acapkali menjadikan publik tercerabut dari akar kebudayaan ketimuran yang santun. Media sosial kadangkala kelewat batas, untuk tidak mengatakan sering, menampilkan segala macam hal, yang positif dan negatif membaur tak terperikan.
Memang, kita sama-sama mengerti, bahwa seluruh keputusan konsumsi dikembalikan pada diri individu masing-masing. Akan tetapi, hukum propaganda tetap saja berlaku dalam segala zaman, salah satunya adagium; "sesuatu yang diulang-ulang akan menjadi benar, sekalipun itu keliru".
Dalam rangka menyimpulkan benar dan salah, manusia memiliki tendensi dan preferensinya sendiri-sendiri. Lebih kurang, ia akan mempertimbangan pengetahuan tradisional (waktu), akal sehat, pihak otoritatif, dan intuitif. Yang mana, pertimbangan tersebut memiliki ketidakandalan yang primer, dalam artian margin of errornya sangat dinamis.
Situasi pandemi akhir-akhir ini, secara otomatis mengubah kebiasaan tatap muka secara nyata, beralih menjadi tatak muka secara maya. Intensitas penggunaan gadget meningkat, disusul pemberlakuan work form home.
Space informasi digital, yang mana kran untuk ikut serta menampilkan kedirian masing-masing terbuka amat besar, maka diperlukan "sikap self control yang lebih tinggi dari biasanya". Dari mengkonsumsi informasi, sampai memproduksi informasi, keduanya harus disandingkan dengan self control yang melampaui, yaitu dengan sains.
Seperti yang sudah kita mengerti bersama, bahwa sains mengandung prinsip empiris dan logis, menjadi jalan yang paling mendekati terpercaya, jika dibandingkan dengan prinsip tradisional, akal sehat, pihak otoritatif dan intuitif an sich. Sains disebut melampaui, sebab ia memandu yang tradional, akal sehat, dan intuitif dalam prinsip holisitik-komprehensif.
Syahdan, segala macam dan jenis informasi yang begitu membanjir dalam psikis publik akhir-akhir ini, apabila tidak menghadirkan prinsip scientific, dikhawatirkan dapat memproduksi masalah baru. Karena pertimbangan atas tindakan, tidak mungkin berangkat tanpa penalaran terlebih dahulu. Akan tetapi, semua kemudian harus menemukan presisi dari frasa, the art of religion atau the scientific of religion.
***Banyumas, 8 Juli 2020.
Comments
Post a Comment