Skip to main content

Pusaran Relasi Absurditas (10)

Sekalipun pemilu 2019 yang panas kemarin masih menyisakan riak-riak perpecahan, hal tersebut sangat mungkin untuk terulang kembali pada pemilu-pemilu berikutnya, apabila undang-undang ambang batas masih berlaku, walaupun undang-undang bukanlah variable utamanya.

Pada era media sosial yang tengah memuncak akibat pandemi akhir-akhir ini, tidak kemudian informasi yang mengandung unsur perpecahan lenyap begitu saja. Pasalnya, hal-hal yang membuat kisruh di media sosial akan tetap ada sepanjang manusia itu sendiri ada.

Kita sebagai manusia lainnya yang hidup bersosialisasi di media sosial, dapat menemukan pelbagai kekisruhan itu. Pengendalian atas "kerusuhan" tersebut mungkin agak terkendali dengan beberapa undang-undang yang diterapkan, walaupun dalam tataran praksis justru merugikan pihak-pihak yang bersuara lantang.

Dalam konteks kekisruhan yang terjadi di jagat media sosial, entah apapun kontennya, bisa kita tempatkan ke dalam sisi eksternal dari diri masing-masing kita. Artinya, sisi internal kita lah yang kemudian sanggup berbicara banyak disini.

Demi menjaga kewarasan internal diri kita, dibutuhkan nalar kritis sebagai konsumen informasi. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa informasi melaju sangat cepat, sekaligus beragam. Sekalipun informasi tersebut bukanlah hoax, akan tetapi perlu kembali di filter, mana yang sangat penting untuk di makan, dan mana yang sama sekali sampah. Tentu penilaian atas penting tidaknya informasi, tergantung dari kebutuhan masing-masing.

Dalam rangka memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat media sosial, bekal nalar kritis adalah key word nya. Nalar kritis tidak mampir dalam benak manusia begitu saja, disana dibutuhkan pembelajaran, terkait prinsip empiris, logis, dan metodis, yang melekat pada khasanah sains.

Syahdan, menjadi konsumen saja tidak sederhana, apalagi menjadi produsen. Untuk itulah, kohesifitas sosial merupakan modalitas mutlak bagi keluhuran peradaban. Karena kita semua mengerti, bahwa ber-solo karir itu tidak ringan.

***Banyumas, 9 Juli 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-