Dalam ruang kesadaran manusia yang serba misterius, terdapat pola yang cenderung berulang, ialah ketidakberdayaan manusia terhadap sesuatu, akan berefek pada perilaku mencari celah untuk berdaya kembali.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), dikembangkan oleh manusia, untuk membantunya dalam keberdayaan. Segala macam hal, yang dahulunya tak mampu digapai, kini dapat tergapai. Misalnya, komunikasi jarak jauh dari satu alat saja.
IPTEK yang memiliki peran membantu manusia dalam keberdayaan yang begitu luar biasa canggih saat ini, ternyata masih tidak mampu memastikan "kapan manusia akan mati". IPTEK tidak mampu memastikan, ia hanya sanggup sampai memprediksikan, itu pun tidak selalu andal.
Ditengah ketidakberdayaan IPTEK memastikan perihal kematian, disanalah agama hadir sebagai sandaran manusia. Walaupun kita sama-sama memahami, bahwa agama bukanlah semata-mata hadir hanya untuk menambal celah ketidakberdayaan manusia an sich.
Dalam pencarian mencari celah keberdayaan, ada perbedaan yang cukup signifikan antara manusia Barat dengan manusia Indonesia khususnya. Barat memiliki keberanian pikiran yang tinggi untuk eksplorasi, sedang Indonesia mempunyai perasaan yang dalam untuk eksplorasi.
Syahdan, dalam pengamatan awam saya, kedua potensi dan pembuktian yang Barat dan Indonesia punyai diatas, agaknya masih terbengkalai oleh arogansi dan dominasi pikiran. Disinilah, agama berfungsi kompatibel menjadi peredam arogansi itu.
Sekalipun agama (sengaja) dikambinghitamkan segelintir manusia sebagai biang kerusuhan, ia tetap akan membuktikan dirinya sebagai rahmatan lil 'alamin sejak dalam perasaan dan pikiran, melampaui ruang dan zaman.
***Banyumas, 13 Juli 2020.
Comments
Post a Comment