"Rega nggawa rupa"; harga membawa penampilan. Kira-kira begitu, bunyi hukum alam berlaku. Punya sigini, dapatnya segini. Dapat segitu, kalau punyanya segitu.
Tetapi, bagaimana dengan moral? Apakah kemudian berlaku didalamnya, atau ada distingsi dalam lingkupnya?
Sore menjelang senja, lampu-lampu kota mulai menyala. Hiruk-pikuk pejuang kehidupan, rata-rata tengah berpulang. Jalanan padat merayap, gesekan batin sama-sama ingin mendahului kepulangan. Ditengah arus besar peristirahatan rutin harian, ada pula yang baru saja berangkat menuju lahan garap perjuangannya.
Para pelaku perjuangan itu, mengarungi jalan sunyinya masing-masing. Pendapatan secara ekonomis, jelas berbeda. Kelas atas, menengah, sampai bawah, memadat dan berkerumun riuh di sela-sela bidang ma'isyahnya.
Konon, orang yang berpendapatan ekonomi atas, berlaku bagi mereka yang pandai "jualan", apapun itu. Dari kebutuhan pokok, sampai hiburan belaka, semuanya berhukum sama.
Berbanding terbalik, mereka yang dinobatkan menjadi "manusia pinggiran", alias ekonomi bawah. Jangankan menyisihkan uang untuk hari tuanya, sehari-hari saja kerapkali kelimpungan memenuhi kebutuhan dasarnya.
Syahdan, pada dimensi yang faktual, perihal moral tak memandang kelas sosial, nasab, kuasa, apalagi ekonomi. Bukan indikator "bermoral" atau "tidak bermoral" yang menjadi titik berangkat bahasan, tetapi lebih kepada kehati-hatian bersikaplah yang acapkali luput dari kita kebanyakan.
Sayangnya, kebutuhan dominasi "atas" dan "bawah", jauh lebih menarik perhatian manusia. Alih-alih, itu hanya menguras energi, sekaligus penghancur utama harga diri peradaban.
***Solo, 30 Juli 2020.
Comments
Post a Comment