Kerumitan masalah demi masalah yang manusia hadapi, merupakan media pembelajaran yang paling efektif, sekaligus paling kejam.
Sekolah, kampus, kursus, dan lain sejenisnya, barangkali mampu memberikan apa yang kita sebut pembelajaran. Akan tetapi, agaknya hal tersebut tidak se-radikal masalah yang kongkret dihadapi oleh individu.
Kita berpengalaman atas belajar dan pembelajaran, baik yang formal maupun yang non-formal. Walaupun tidak senada persis, kita sama-sama mengalami, bahwa misalnya, betapa sulitnya mengajari anak untuk rajin belajar, sedang anak tersebut tidak pernah "bermasalah" atas ketidakrajinannya dalam belajar. Atau katakanlah, betapa sulitnya saya berempati kepada anak yatim, sedang saya bukanlah anak yatim, dan masih banyak contoh lainnya.
Menurut agama, masalah hadir sebagai penebus dosa, pemberi peringatan, jalan tol per-taubatan. Masalah yang datang, kata agama, menyesuaikan kemampuan individu manusia tersebut menyangganya. La yukalifullohu nafsan illa wus'aha,
Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya atau kesanggupannya.
"Masalah Belajar Masalah", adalah "masalah" tersendiri. Tanpa latar belakang masalah, naskah akademik tak ubahnya sebuah ocehan belaka, yang tak bermakna. Masalah yang di-hadirkan, dengan masalah yang hadir dengan sendirinya, jelas memiliki penekanan dan beban yang sama sekali lain.
Memang, sama-sama kita mengerti, betapa masalah itu bisa menghancurkan manusia, juga disisi lainnya, mampu menguatkan manusia.
Syahdan, saya dan mungkin kita, selalu dipenuhi masalah demi masalah dalam hidup ini, dengan tingkat beban yang berbeda ragamnya. Maka, sebagai pelaku kemungkinan dalam hidup, barangkali jalan terbaik untuk mensikapinya, adalah dengan menyadari sepenuhnya, bahwa masalah itu, merupakan bagian dari darah daging kita, yang seringkali kita lupa, untuk mengelolanya.
***Banyumas, 12 Juli 2020.
Comments
Post a Comment