Perkara kejenuhan, bosan, dan lain sebagainya, yang sejenis rasa dengan hal tersebut, sejatinya mirip dengan kesenangan. Keduanya sama-sama berwarna semu, inner-subjektif, dan uncertainty.
Sekalipun kedua problem itu berkelindan up-down dalam nafas jalan manusia, yang pasti eksis diantaranya adalah, perkara sikap favorable-unfavorable saja. Artinya bukan menjadi titik tekan paling krusial. Itu sejenis bunga ditaman yang memiliki inter-subjektif, sama-sama memancarkan keindahan yang absurd.
Jenuh, bosan, dst., jelas sama sekali bukan idaman manusia, walaupun kondisi tersebut cukup mendorong produktifitas peradaban dalam bentuk yang macam-macam, selain fitrah kuriositas.
Beban berat yang menumpuk, merupakan salah satu biang keladi kejenuhan dan kebosanan. Namun, tidaklah perlu merisaukan hal tersebut. Sebab, diantara semua agenda revolusi yang overt maupun covert, pola stagnan yang melekat kuat pada diksi jenuh dan bosan, ialah pangkal-hulu gerak kesejarahan.
Syahdan, memang semua perlu ditata dan diatur sedemikian rupa, agar visi dapat down to earth. Tetapi, manusia hanyalah manusia, yang secara azali, dibekali otak yang super cerewet, dan hati yang super sensi. Maka, berbiasalah dengan itu semua, toh hidup ya pengabdian, bukan kekuasaan penuh.
***Banyumas, 15 Juli 2020.
Comments
Post a Comment