Nampak jelas, guratan juang dari pelipisnya, tak terkecuali lebam kedua telapak tangannya, tanda berat memikul tanggung jawab. Diantara ribuan wajah yang bersua, agaknya yang ini lain dan berbeda. Disana ada ketulusan, kesabaran, sekaligus dentuman syukur tiada henti.
Ia, sejatinya tak berkecukupan, menurut kacamata modernitas. Pun, terseok-seok roda life style yang hingar-bingar abad 21 ini. Namun, sepertinya tidak pernah terjadi "apa-apa" dalam jiwan terdalamnya, misalnya cemburu dunia, dan lain sebagainya.
Ditengah badai virus "by design" kekuatan besar ekonomi dunia, ia semacam tak memperdulikannya. Walaupun tetap saja, perilaku dalam konteks pemenuhan kebutuhan sehari-sehari, tak ternafikan ikut ter-gubah.
Hari demi bari dilewatinya dengan sentuhan romantik bersama anggota perjuangannya, keluarga. Disanalah, kunci kelegaan batin dalam mengarungi hidup yang garang nan kejam. Disana pula lah, titik terendah dan bangkit bercampur dengan air mata yang tak mampu ia teteskan ulang.
Syahdan, pada sisa-sisa tenaga yang tersirat di pelupuk matanya, asam garam hidup ia lewati beserta panas dinginnya kota. Tak peduli lagi, apa yang menjadi citanya. Sebab, buah hati baginya, adalah seluruhnya. Sekali bertemu dengannya, tertampar hati yang nihil terima, termehek-mehek dalam fatamorgana.
Bah!!!
Manusia Manusia semacammu, mana muncul sebagai figur sosial.
***Solo, 30 Juli 2020.
Comments
Post a Comment